VI

64 7 0
                                    

Gemerlap cahaya dari lampu menyambut Kuti di mulut gang. Dia memicingkan mata silau. Pada zamannya, malam tidaklah seterang ini. Hanya ada nyala obor redup saja. Dan pada zamannya juga, keadaan tidak seramai ini pada malam hari. Hanya ada angin membawa alunan suara jangkrik dan burung malam.

"Aku tidak habis pikir dengan waktu yang berlalu."

Kuti menengok ke belakang sebentar, lalu kembali mengamati hingar-bingar jalanan. "Waktu memang egois, Mada." Kuti menimbang-nimbang sejenak, lalu melangkah keluar menuju lalu lalang manusia berpakaian sangat berbeda dengannya. Dia berjalan mengikuti arus, tenang, dan hanya mengamati sekitar dengan rasa ingin tahu yang tinggi.

"Kau benar-benar berniat untuk menetap di sini, Kuti? Kau tidak ingin kembali saja?"

"Lalu kenapa kau masih mengikutiku, Mada? Tidak berani pulang sendiri?" oloknya sambil terus berjalan tanpa menghiraukan Mada.

Terdengar decakan tidak senang. Sejurus kemudian Mada dapat menyusul Kuti dan berjalan beriringan dengannya. "Aku takut kau berbuat yang tidak-tidak di masa ini. Kau orang berbahaya," katanya tidak main-main.

"Mau menjadi embanku — pengasuhku, Mahapatih? Aku tersanjung dengan kerendahan hatimu," balas Kuti bersakrasme dengan gaya yang dibuat-buat.

Sedetik kemudian, sebuah tinju melayang akan menyasak wajahnya. Kuti dengan gesit berkelit dan menangkap kepalan tangan tadi untuk menahan si penyerang agar tidak macam-macam lagi. Tapi yang dihadapinya adalah seorang Mahapatih, seorang yang memiliki ilmu sama tinggi dengannya, atau mungkin lebih. Jelasnya, Mada adalah musuh yang tidak boleh diremehkan.

Mada tidak menyerah. Bahkan sekarang ia menekuk lutut dan menghantamkannya pada ulu hati Kuti. Kuti masih sanggup menahan, dan dia memusatkan tenaga untuk mendorong Mada jauh darinya. Cukup berhasil, karena Mada kemudian terhuyung sebelum kembali berdiri siap tempur.

"Hentikan, Mada!" Kuti melompat mundur. "Kita dikepung."

Benar saja. Kerumunan massa tengah mengelilingi mereka penasaran. Mereka merasa aneh dengan dua sosok berpakaian kuno — yang satu sangar sedangkan yang lain belepotan tanah — sedang bertengkar di trotoar. Rata-rata mereka mengeluarkan handphone dan merekam kejadian tadi untuk diunggah ke channel masing-masing.

"Benda apa yang mereka pegang?" tanya Kuti was-was. Pemandangan ini begitu mencurigakan baginya. Dia mundur hingga saling memunggungi dengan Mada yang ternyata juga melakukan hal yang sama.

"Tidak tahu, itu hanya sebuah kotak yang ganjil menurutku," jawab Mada. Dia lantas memasang kuda-kuda menyerang. "Bisa saja itu adalah pengembangan dari cetbang di masa ini. Kita bisa hangus kalau begitu."

Mada mengamati keadaan, mengevaluasi berbagai kemungkinan yang ada untuk selamat. Dia tidak ingin mati. Tidak untuk kedua kalinya. "Hanya ada satu pilihan," usulnya.

"Apa? Menyerang mereka?" berondong Kuti tidak setuju. "Kau tidak waras, Mada? Itu mustahil!"

"Tidak, Kuti," jawab Mada singkat. Dia mengambil ancang-ancang. "Kita akan lari."

*

Napas mereka memburu. Kembang kempis dada meraup udara yang seperti menipis begitu saja tanpa pemberitahuan. Peluh bercucuran deras macam kain cucian diperas hingga kering. Dua orang itu beriringan menuju sebuah bangku yang memang bertebaran di taman kota. Mereka berhasil lari setelah berdebat sengit soal bagaimana mereka kabur. Tidak mau ambil pusing, Mada menyeret Kuti lari menjauh.

Mereka duduk meluruskan kaki. Angin malam bertiup sepoi-sepoi meredam panas tubuh. Mereka saling terdiam, tidak berniat membuka pembicaraan untuk saat ini.

Beberapa manusia lewat di depan Kuti dan Mada. Tidak ada yang memperhatikan terlalu jauh pada dua sosok asing duduk di dekat lampu taman, sibuk bermesraan dengan pasangan masing-masing.

"Mereka tidak malu mengumbar hal tabu semacam itu?" komentar Mada di tengah-tengah napasnya yang menderu. "Benar-benar zaman penuh kebusukan. Adharma merajalela."

Kuti tidak menyahut. Dia kembali sibuk mengamati gerak-gerik manusia yang berbeda masa dengannya.

"Aku ingin kau menjawab pertanyaanku, Kuti," kata Mada sungguh-sungguh. "Kau berniat untuk menetap di sini?"

Kuti mengangguk mantap.

"Kenapa?"

Kuti memandang Mada sekilas. "Sederhana saja," jelasnya singkat.

"Sederhana bagaimana? Dunia ini sudah tidak cocok bagi kita. Kita tertinggal jauh dari peradaban," Mada menanggapi. "Dan bukankah takdir kita adalah..."

"Mati?" lanjut Kuti menyelesaikan perkataan Mada. "Aku akui bahwa memang seharusnya kita telah damai di alam sana. Ah, ralat. Seharusnya kau tenang di alam sana. Berbeda denganku yang harus mati dalam peristiwa memalukan. Mati dalam perang merupakan sebuah kebanggaan bagi seorang ksatria. Tapi aku dianggap sebagai pengkhianat sehingga kematianku sama sekali tidak membuatku bangga. Bahkan aku tak sempat mandi dengan darahnya."

"Kau berniat menggulingkan Raja."

"Ya, seorang dungu yang cukup beruntung menjadi Raja. Raja yang tidak tahu bagaimana cara memimpin sebuah negeri yang besar. Setan kerdil!" umpat Kuti. "Pada akhirnya dia mati dengan menyenangkan, bukan? Di atas kasur bulu angsa, dikelilingi orang yang memujanya."

"Kau salah, Kuti." Mada membetulkan letak upawitanya. "Dia mati di tangan Tanca."

"Baguslah." Kuti tersenyum aneh. "Rasakan kemampuan Tanca. Warangan cukup membuat kesal hatiku berkurang."

Mada menerawang jauh. Ada sesuatu bergejolak dalam dirinya.

"Kenapa kau ingin sekali kembali?" giliran Kuti menanyakan alasan.

Mada tanpa menoleh menjawab, "Aku merasa tidak seharusnya ada di sini, Kuti. Tapi biar begitu, aku merasa tak yakin berani untuk mati kedua kalinya. Tapi di sini... aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya padamu."

"Ya, aku tahu. Itu karena kau tidak mempercayaiku, kan?"

"Aku percaya," tukas Mada. "Aku percaya. Bahkan aku menyesal telah menyelamatkan... menyelamatkan Kalagemet." Tangannya mengepal erat. "Kubunuh dia... tapi tidak dengan tanganku sendiri."

"Jadi kau yang menyuruh Tanca?!"

"Aku tidak suka dengan generasi yang lalai," sambung Mada tidak menghiraukan keterkejutan Kuti. "Dan di sini, aku mencium bau yang sama dengan Kalagemet. Bau yang memuakkan."

"Kenapa tidak kau hancurkan saja mereka?"

Sosok berwujud gumpalan asap hitam bergelung di depan Mada dan Kuti yang sontak berdiri saat kedatangannya. Dua lingkaran merah menyala yang diasumsikan sebagai mata menyorot mereka berdua.

"Daitya..." desis Kuti marah.

"Bagaimana Gajah Mada? Apa kau mendapat jawaban dari Rakrian Kuti seperti kau mau?" kata sosok tadi dengan suara menggema.

Mada menggeleng.

"Aah... begitu rupanya." Asap itu berpaling pada Kuti. "Setelah kupikirkan, aku berterimakasih karena kau tidak menjawabnya. Nah, Mada. Akan kuberi kau sebuah penawaran menarik."

Kuti menatap Mada dengan pandangan penuh arti. Dia menggoyangkan kepala pelan, lalu mundur menjauh.

"Kau sangat membenci keadaan ini, kan?"

Mada membisu.

"Berterimakasihlah padaku. Untuk itu, kau harus melakukan sesuatu."

"Sebuah harga?" tanya Mada memastikan.

"Semua ada harganya." Asap itu bergerak mendekat. "Bangun Majapahit seperti semula. Apapun caranya. Kau bisa membunuh orang yang mengganggu jalanmu. Runtuhkan monarki yang membelenggu tanah ini, wahai Mahapatih yang Agung. Bawa kembali kejayaan yang dulu." [*]

SEROJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang