Kejutan pertama masih menjadi bala bencana di relung otak. Belum enyah sepenuhnya menggerogoti akal pikiran. Kejutan lainnya sudah menunggu di sepetak bangunan yang kuanggap sebagai rumah.
Kesaksian di visi manikku mulai berlagak. Kadang-kadang menyamar kadang-kadang jelas. Tapi sungguh, ingin sekali aku tunanetra saat itu juga. Tontonan memilukan yang menusuk sampai ke sum-sum tulang.
Sosok pria berkaki jenjang yang menarikan ke sepuluh jemarinya di bagian atas tubuh Yuu-chan. Berposisi di belakang badan pemuda berambut legam yang terjeda menyiapkan sarapan. Setengah membungkuk, berkesan seperti memeluknya dari belakang. Dan orang yang dipeluk menggelinjang kegelian.
Meski sebenarnya mereka hanya bercanda—saling gelitik menggelitik, namun sempurna menorehkan luka.
Lima tahun aku bersanding satu atap dengan Yuu-chan, seujung kuku pun aku tak berani menyentuhnya. Sementara Guren yang hampir tak pernah lagi bertatap, dengan bebasnya mengumal baju kaos Yuu-chan sampai sedikit tersibak, menggilik-gilikan jarinya.Perasaan iri plus cemburu menjalar. Rasanya sangat pahit, sampai-sampai aku amnesia mengucapkan kalimat 'Aku pulang'.
"Oh, Mika, baru pulang," sapaan Guren membeberkan keberadaanku yang telah disadari.
Buru-buru kulepas plester pereket dengan secuil kapas tertindih menyembul di tengah, menutupi bekas tusukan jarum infus di punggung tangan kanan. Lekas kugenggam bendanya di tangan yang lain.
"Selamat pagi. Lama tidak bertemu Guren-san," setengah membungkuk, balik menyapanya ramah dengan topeng kepalsuan yang telah lihai aku mainkan.
"Selamat pagi."
Menghentikan aksi senda gurau di pagi hari, posisi Guren dan Yuu-chan kini terpisah jarak. Guren beringsut mengenyakkan tubuhnya di salah satu kursi. Sementara Yuu-chan bergiliran mengambil sajian demi sajian dari konter, mentransfernya ke meja makan.
"Sebaiknya kau hentikan kegiatanmu menginap di tempat kerja. Sekalipun lembur, sempatkanlah diri untuk pulang."
Pernyataan Yuu-chan membuatku senang sekaligus nanar. Senangnya, karena aku serasa sedikit diperhatikan, meskipun mungkin dia hanya membuka tajuk sederhana untukku yang baru datang.
Nanarnya, karena Yuu-chan salah menduga. Wajar bila dia keliru, karena aku memang enggan memberitahukan bahwa sebenarnya bukan tempat kerja yang kujadikan ranjang bermalam, melainkan rumah sakit.
"Yah, mau bagaimana lagi," kedua bahuku terangkat sesambil menyusupkan tangan ke kantong bawah jas panjang, menyembunyikan plester yang tertempeli secuil kapas, "laporan-laporan menggunung Yuu-chan, kau tahu 'kan ini akhir bulan."
"Alasan apa pun itu, jangan sampai kau jatuh sakit, Mika. Coba kau bercermin, wajahmu tampak pucat."
Bercitanya aku mendengar. Perhatian sederhana Yuu-chan sudah cukup membuatku bahagia.
Sebenarnya aku sedang sakit. Satu botol cairan nutrisi infus sudah berbaur dalam alirah darahku akibat aku pingsan di jalan tadi malam. Dan dokter bilang, penglihatanku bermasalah sangat serius.
Tidak menanggapi. Aku menatapnya sendu.
"Kau ada mengirimkan email, Mika? Kalau ada, maaf ya tidak terbaca. Ponselku rusak, gara-gara dia," dengusan ditunjukkan ke arah Guren.
Baru sesaat terlena kini kuterpaku.
Rasanya seperti dipencundangi. Begitu percumanya aku mengirimkan surel selepas pulang kerja tadi malam. Memintanya datang menyusul ke restoran favorit. Lebih dulu menunggunya di salah satu bangku. Menenteng kotak berisi penganan penuh gula dihiasi lapisan mentega putih bergradasi cokelat. Menghamparkannya ke salah satu meja.
![](https://img.wattpad.com/cover/95421484-288-k598723.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Existence of a Small
Fanfiction"Jangan biarkan pikiran negatif menimbun menjadi sampah dalam pusat syaraf, menyebabkan kesedihan yang mau tak mau kau izinkan datang." Kalimat yang tak tersirat untuk Mikaela yang telah hancur harapan ditelan takdir. Keinginannya sederhana, hanya...