Warning
Alur maju-mundur
1st POV================================
Para pejalan kaki fokus menggerakkan tungkai secara beraturan. Mengejar kehidupan pribadi setelah menanggalkan profesi yang mereka lakoni selama seharian. Menyusuri jalan. Meninggalkan jejak-jejak sepatu di permukaan bumi yang sudah dilapisi bahan aspal. Mereka sibuk dengan masing-masing urusan dan pikiran.
Bahkan begitu prioritasnya mungkin tidak ada yang menyadari keberadaanku dengan notabene―terpekur seperti gembel.
Hanya satu atau dua yang memberikan atensi. Memasang tatapan ambigu atau hanya sekadar melayangkan lamunan terhadapku ketika aku terlacak radar penglihatan.
Kubiarkan. Tidak ingin kupedulikan. Aku juga tidak butuh perhatian kalian.
Bahan padat terbuat dari semen, berukuran rendah, yang merupakan pembatas tanaman, kujadikan tempat pantatku menempel. Kesepuluh jemariku diberikan rangsangan oleh hawa dingin. Refleks bergerak, mendekap kedua lututku yang awalnya setia duduk mengangkang terhenyak dalam kekalutan.
Diriku bahkan menuntut datang satu jam lebih awal dari waktu yang ditentukan. Di depan restoran yang rutin aku kunjungi ketika minatku menguar untuk mencicipi makanan di luar bersama orang yang aku sukai dulu.
Dulu, definisinya menunjukkan bentuk lampau. Bukan berarti aku sudah tidak mencintainya. Dan bukan berarti dia adalah bekas orang yang pernah kucinta. Perasaanku kepadanya masih sama.
Tidak, mungkin sudah bertambah berkali-kali lipat setelah aku memutuskan untuk mendepak diriku sendiri dari kehidupannya. Ya, ini adalah kata 'dulu' yang aku maksud. Dulu kami pernah bersama sekian lama. Tapi sekarang sudah tidak lagi.
Otak memberi perintah kepada leherku. Mengomando kepala untuk menoleh ke arah waktu. Kulesatkan pandangan ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Terlalu kecil. Indera visualku tak bisa menangkap. Meski sudah menyipit atau melotot tetap tidak menghasilkan guna.
Kacamata yang aku rogoh dari saku baju juga tidak dapat memberikan bantuan. Bahkan jarum-jarum jam yang bergulir terlihat mengganda di balik kaca. Ah, seharusnya aku membeli jam digital yang angkanya tercetak cukup besar.
Cukup lama meringkuk, kuberikan perhatian kepada benda yang menunjukkan 'pukul' di seberang jalan. Jam raksasa yang tercantum di dinding bagian luar gereja terlihat samar. Bermata empat juga tak bisa menjangkaunya. Pilu, semua upaya serasa percuma.
Deraan ringkih mendadak bertandang tak diundang. Aku kembali memeluk tubuh. Menciptakan hawa panasku sendiri. Langit menyuram menjadi latar penantianku yang kembali terpekur dalam kegetiran. Barangkali sudah mau berganti malam. Atau hari akan hujan.
Diriku membatin. Bisu, tidak, melainkan menggumam pelan.
"Yuu-chan, cepatlah datang. Aku ingin melihatmu sekali ini saja. Sebelum hadiah kegelapan sepenuhnya aku dapatkan."✿✿✿
Tak kenal makanya tak sayang. Tak sayang makanya tak cinta. Pepatah lama yang sampai sekarang masih terdengar layaknya sapaan berita di pagi hari. Namun, pepatah itu tidak akan sempurna tanpa unsur pengusung. Perkenalan saja tidak cukup, dibutuhkan tali yang bernama persahabatan untuk menumbuhkan perasaan sayang, terlebih lagi cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Existence of a Small
Fanfiction"Jangan biarkan pikiran negatif menimbun menjadi sampah dalam pusat syaraf, menyebabkan kesedihan yang mau tak mau kau izinkan datang." Kalimat yang tak tersirat untuk Mikaela yang telah hancur harapan ditelan takdir. Keinginannya sederhana, hanya...