❀3❀

1K 112 17
                                    

Tidak tahu raut orang itu persisnya seperti apa. Seorang pejalan kaki yang aku paksakan untuk bertanya perihal tentang angka waktu yang tidak bisa kulihat. Mungkin sekarang dia memasang tampang bingung mengamati arloji yang tersemat di pergelangan tanganku. Kuberikan alasan bahwa jamku mati sambil menutupinya.

"Sudah jam sepuluh lewat lima."

Aku tertegun sejenak, "Oh, terima kasih."

Selesai bertanya orang itu pergi.
Empat jam sudah aku memboros waktu hanya untuk memutar kenangan. Selama itu juga tidak kurasakan tanda-tanda kemunculan Yuu-chan. Sejak aku memutuskan keluar dari ruang lingkup hidupnya, semenjak itu pula kami tidak pernah lagi saling berhubungan. Bertemu pun sudah jauh dari kata jarang.

Pun terlibat komunikasi terakhir secara langsung pada saat aku hengkang kaki dari rumahnya. Selepas kejadian itu, kucoba bertahan hidup sendirian, tanpa mengetahui kondisi dan keadaan Yuu-chan. Rasa rindu kerap menyerang. Tapi mau bagaimana lagi kondisi penglihatan yang kian menyuram adalah kendalanya.

Pada akhirnya aku tersadar. Sisa-sisa kemampuan mata yang sangat teramat lemah menangkap cahaya ini harus dimanfaatkan untuk melihat sosok Yuu-chan untuk terakhir kalinya. Harus kupuaskan memandangi wajah Yuu-chan berlama-lama. Kemudian menyimpannya di kotak arsip kenangan di bagian utama otak dengan judul 'Wajah orang yang sangat aku cintai selamanya.'

Harus kulakukan itu sebelum kebutaan total dan kegelapan selamanya aku dapatkan. Lantas kukumpulkan keberanian, menyapa Yuu-chan yang sudah cukup lama tidak bersua melalui media elektronik penghantar suara. Memintanya bertemu selepas dia pulang kerja.

Dan di sinilah kini aku berada. Rela datang lebih awal, menyambutnya, agar pertemuan nanti terlihat sedikit sempurna.

Kutekan lama tombol paling ujung kiri nomor dua dari atas di ponsel pintar. Panggilan terlayangkan. Tapi kerap tersandung pesan suara operator. Pikiran baik tetap kupertahankan. Sebab siang tadi Yuu-chan memastikan akan datang.

Ya, setidaknya begitulah aku beranggapan. Mengesampingkan ingatan tentang nada suara Yuu-chan ketika berbicara lewat sambungan telepon yang masih aktif tadi siang―terdengar datar dan seperti tidak berminat. Namun aku tetap meneguhkan hati.

Tetes-tetes air berguguran pelan. Berjamak menjadi milyaran. Mulai menambah kecepatan. Menyerang dan menghantam semua benda yang mendarat di permukaan. Aku turut serta terguyur di tengah jalan. Tanpa payung, tanpa penghalang, hanya bermodalkan sweater tipis sebagai penghangat yang kini juga telah kuyup ditempa hujan.

Kutarik sekali lagi seorang pengguna jalan yang dipayungi benda penghalang hujan berwarna hitam. Kutanyakan dengan penuh kegamblangan. "Maaf sudah jam berapa? Jam tanganku rusak."

"Jam dua belas lewat dua puluh lima."

Tertunduk dalam. "Oh, terima kasih."

Terhitung enam jam lebih aku melakukan hal sia-sia. Terpekur layaknya orang bodoh. Menunggu tanpa kepastian. Berharap tanpa wujud nyatanya. Kadang terlalu berpikiran baik bisa membuat seseorang tenggelam dalam kesengsaraan. Sengsara karena tidak sesuai dengan realita. Sengsara karena tidak sesuai dengan harapan.

Ya, hal ini memang sudah biasa terjadi setiap saat. Saking seringnya tidak pernah bosan untuk kuperankan. Dengan anggapan semua yang kubayangkan menjadi kenyataan. Namun, pada akhirnya takdirlah yang memberikan jawaban.

Gontai tungkaiku terayun. Sebelah tangan mencoba menekan kembali panggilan. Tak bereaksi, juga tak ada bunyi. Sepertinya ponselku rusak tercemar guyuran hujan. Kulipat, kubuang begitu saja ketika aku menjauh dari tempat awal. Pandanganku semakin berkabut diselaputi dengan air hujan dan air asin yang bersumber dari dalam mataku sendiri.

The Existence of a SmallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang