Chapter 3

164K 8.7K 195
                                    

"Hidup itu pilihan tanpa bisa memilih apa yang telah Allah pilihkan, tapi percayalah yang Allah pilih adalah bagian paling indah."

_____________

KUPUKULI benda bulat seperti sosis besar yang tergantung ke langit-langit atap itu. Selain menjadi anggota di Lembaga Dakwah Kampus dan PMI, aku juga ikut komunitas anak Taekwondo. Hanya ingin mengatakan bahwa hijab bukan penghalang untuk kamu melakukan aktivitas extreme.

Ada yang bilang jadi muslimah itu harus anggun dan lemah lembut apalagi setelah berhijah? Ya, itu benar. Saeorang muslimah yang nantinya jadi ibu haruslah lemah lembut. Tapi muslimah juga harus bisa melindungi diri mereka, jangan mau diremehkan. Rasulullah bahkan mengajarkan Aisyah bagaimana cara memanah. Jangan mau menjadi muslimah yang dicap lemah.

Hari ini tepat jatuh di hari selasa, minggu kedua di bulan mei dimana sebentar lagi libur sekolah tiba. Sayang sekali, libur tersebut tidak berlaku bagi kami yang duduk di bangku universitas. Bukannya libur yang datang, tapi ujian akhir semester yang datang.

"Tumben, semangat banget." Rachel datang dengan celana putih dan kaos oblong merah, dia itu pria—maksud ku wanita yang berpakaian pria. Dengan rambut yang dipotong pendek membuatnya malah terlihat tampan.

Semua orang akan mengira Rachel itu tidak cocok jadi perempuan. Dia temanku sejak SMA kelas sebelas. Sangat teramat tomboy, sangat mencintai taekwondo, sangat membenci saos tomat dan terakhir kami berbeda kepercayaan. Syukurlah toleransi tidak melarang kami untuk berteman. Tentu saja kecuali dalam hal aqidah dan ibadah.

Melihatku yang tak menggubris perkataanya dia menghentikan kegiatan yang kulakukan dengan menahan benda itu agar tidak kupukuli.

"Kenapa sih Sya? Lihat tuh tangan kamu memar gitu! Semangat boleh, tapi gak nyiksa diri sendiri juga kan?" Aku melihat buku-buku jariku yang memerah bahkan ada yang berdarah, tapi aku tidak merasa sakit sama sekali, karena semua rasa sakitnya berkumpul di bagian dada.

Mengingat apa yang dikatakan Jidan membuatku menjadi uring-uringan, "Dia akan melamar kakakku dalam waktu dekat." Oh, kapan kalimat itu hilang dari otak ku.

Apa Allah masih cemburu padaku? Sampai rasa sakitnya menjalar ke seluruh tubuh. Harusnya tidak seperti ini, sejak awal keputusan menjatuhkan harap itu memang salah. Aku sedang berusaha menerima semunya, termasuk keputusan Jidan yang akan melamar kakakku.

Mungkin Kak Salsya tidak tahu tentang rencana Jidan, tapi aku sudah lebih dulu tahu semuanya. Aku bersyukur karena rasa sakit itu datang lebih dulu, dibanding datang tepat waktu. Hidup itu pilihan, kan? Ya pilihan, tanpa bisa memilih apa yang telah Allah pilihkan, tapi percayalah yang Allah pilih adalah bagian paling indah. Aku hanya harus yakin bahwa ini akan indah nantinya.

Tubuhku terkulai lemas di lantai, aku kelelahan. Rachel ikut menjatuhkan dirinya di sampingku.

"Masalah semester akhir? Santai aja kali. Katanya UAS sekarang ujian praktek dulu sebelum ujian teori, jadi punya waktu lumayan lama buat menghafal ulang," katanya.

"Entahlah ... itu kabar bagus atau bukan," kataku sambil melepas body protector yang kupakai. Ternyata begini rasanya menyimpan sesuatu sendirian, saat sedih pun aku tak bisa mengatakan apa pun. Tak ada yang tahu perasaanku pada Jidan kecuali Rabb-ku sendiri.

"Terus kenapa chat aku gak dibales?" tanya Rachel lagi.

"Oh itu−" Aku terdiam sejenak mengingat sesuatu yang tiba-tiba terlintas di otakku.

Tidak umum memang, tapi aku orang yang jarang sekali memainkan handphone. Mungkin dalam sehari aku hanya mengeceknya dua kali. Masalahnya sekarang aku lupa menaruhnya. Dimana handphoneku sekarang? Dimana kutaruh benda kotak itu? Aku berusaha mengingat kapan terakhir aku menggunakan handphone, benda berukuran persegi panjang itu tak pernah kupegang akhir-akhir ini.

Assalamualaikum Calon Imam ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang