Bagian 18

80.6K 6.9K 234
                                    

"Laki-laki akan memilih perempuan yang mampu menyejukkan hatinya bagaikan embun."

────୨ৎ────

ABI ingin melihat anaknya Salsya nanti, tapi yang paling ABI inginkan adalah menjabat tangan pria yang akan menjadi imam untuk anak ABI. Nayla sudah ABI titipkan pada Kahfa. Begitu pun kakak kamu, Salsya, ABI lega dia menikah dengan Jidan. Dan nanti ... ABI akan menggenggam tangan pria yang akan menjadi imam kamu. Mengucap ikrar pernikahan atas nama Allah, baru ABI bisa tenang, anak perempuan itu tanggung jawab ayahnya.

Perkataan itu terulang di benak Nafisya, seolah suara Abinya sendiri yang mengatakan itu di telinganya. Nafisya berpikir bagaimana caranya dia bisa mewujudkan satu saja keinginan Abinya hari ini. Tak mungkin jika membuat Kak Salsya segera mempunyai anak. Itu artinya opsi yang kedua yang dapat dia wujudkan. Dia harus menikah. Ya, menikah malam ini juga.

Dia memang tak waras saat ini, dia tak peduli dengan perasaannya sendiri karena yang berbaring di dalam itu adalah Abinya. ABI yang telah dia abaikan selama ini. Perempuan itu bahkan berpikir jika Allah memperbolehkan Nafisya untuk bernegosiasi, dia akan meminta untuk bertukar posisinya dengan Abinya.

Nafisya sudah memutuskan bahwa dia siap berkomitmen untuk menikah, dia sudah mengatakan semuanya. Kepanikan, rasa takut, dan segala yang ada dalam pikirannya. Ujian silih berganti datang menyapanya dan mungkin inilah puncaknya. Dia sangat tertekan dengan keadaan ini, dia sangat ingin menghubungi Ummi dan Kakaknya dan mengatakan semuanya. Namun lagi-lagi amanat Abinya terngiang di benak Nafisya.

Alif menyuruhnya untuk tetap tenang. Alif tahu bahwa yang dikatakan Nafisya itu hanya jawaban spontan dari pikirannya, bukan jawaban dari hatinya, karena Alif melihat koper Nafisya membawa koper ke tempat ini. Alif sudah menyuruh asistennya untuk menghubungi Kahfa dan Nayla, tapi mereka perlu waktu cukup lama untuk sampai ke sini.

"Dengarkan saya baik-baik, Sya ..."

"Memutuskan menikah tidak segampang itu. Saya tahu kamu lagi tertekan dan saya tahu hati kamu bukan untuk saya. Jangan mengambil keputusan tiba-tiba seperti ini. Kita bisa cari cara lain untuk membahagiakan ABI kamu selain dengan menikah," jelas Alif.

"Pernikahan itu bukan mainan," lanjutnya.

"Umur ABI juga bukan mainan buat Fisya. Pak Alif tidak tahu apa yang Fisya lakukan selama ini sama ABI, kan? Fisya sudah yakin dengan apa yang Fisya bilang. Kenapa? Pak Alif mau mundur?"

"Masalahnya menikah itu bukan untuk hari ini saja. Pikirkan ke depannya juga, Sya. ABI kamu juga tidak akan rela kalau kamu menikah hari ini tapi tidak bahagia nantinya. Semua anak pasti rela mengorbankan apapun di saat orang tuanya terbaring di rumah sakit, tapi tetap saja menikah bukan solusi yang terbaik. Jangan mengambil keputusan terburu-buru," Alif menasehati Nafisya.

"Saya memang mau menikah dengan kamu, tapi tidak seperti ini caranya ..." lanjut Alif. Perempuan itu menangis, menangis hebat sampai hidungnya memerah. Alif mengacak rambutnya, dia memang ingin menikah dengan Nafisya, tapi untuk apa menikahinya jika dia menerima Alif dalam keterpaksaan.

"Pak Alif tidak bisa, kan? Kalau begitu Fisya akan cari pria lain yang-."

"Oke saya nikahi kamu sekarang!" kata Alif tegas.

"Tapi berjanjilah kalau kamu tidak akan pernah menyesal dengan keputusan yang kamu pilih hari ini."

────୨ৎ────

Kahfa dan Nayla akhirnya datang, katanya mereka sengaja belum memberi tahu Ummi dan Bu Mia karena ini sudah terlalu larut.

"Saya akan menikahi putri Bapak sekarang," kata Alif tegas. Pak Husain memberi isyarat untuk melepas alat pernapasan yang menempel di hidungnya. Dengan napas yang terbilang pendek Pak Husain menatap Nafisya.

Assalamualaikum Calon Imam ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang