Bagian 06
"Want to dance with me?" pria itu mengulurkan tangannya ke arahku. Cahaya yang remang-remang membuatku tak mengenali dengan jelas siapa pria yang mengajaku berdansa. Aku melangkah mendekatinya untuk melihat lebih jelas siapa pria itu. Dan ternyata... Itu adalah Pak Marcel!
Satu pertanyaan yang melintas di otakku saat ini; kok Pak Marcel bisa ada disini?
Tapi, selain itu, ada kebingungan lain yang menghampiri diriku. Aku benar-benar bingung mau menerima ajakan Pak Marcel untuk berdansa atau tidak. 2 kata yang kemarin Pak Marcel ucapkan masih terekam jelas di memori otakku membuat aku sedikit malu untuk berhadapan dengannya. Terlebih... Dalam situasi seperti ini. Dan sialnya lagi, Pak Marcel adalah atasanku-walau bukan atasan yang sesungguhnya. Tapi, tetap saja, aku jadi merasa sungkan kalau harus berdansa dengannya.
Melihat tak ada respon apapun dariku, Pak Marcel mengambil tanganku untuk di lingkari ke daerah tengkuknya. Sedangkan tangannya melingkari area pinggangku—merengkuh diriku layaknya sepasang kekasih.
Aku bergeming di perlakukan seperti itu. Terlalu tiba-tiba membuat aku tak tahu harus berbuat apa selain mengikuti gerakan tubuhnya yang mengiringku untuk berdansa. Romansa musik yang slow membuat aku semakin hanyut ke dalam tarian ini.
Tanpa aku sadari, Pak Marcel semakin mendekatkan wajahnya dengan wajahku yang sontak membuatku memejamkan mataku rapat-rapat. Seperti di cerita-cerita yang aku baca dan aku buat, kalau seperti ini adalah tanda-tanda si pria ingin mencium si wanita.
Dan benar saja.
Bibirku merasakan sesuatu yang lembab dan kenyal. Tanpa membuka mata, aku sudah tahu pasti kalau benda itu adalah bibir Pak Marcel. Yang awalnya hanya kecupan, berubah menjadi lumatan lembut namun menuntut. Aku yang sedari tadi hanya diam saja—tidak menolak dan tidak membalas— akhirnya hanyut juga ke dalam permainannya. Bibirku terbuka seolah membiarkan Pak Marcel mengeksplor lebih dalam ruang mulutku dengan lidahnya. Tanganku meremas kecil ekor rambutnya. Sedangkan Pak Marcel semakin mengeratkan pelukannya terhadapku—mengikis jarak yang ada.
Selama 3 menit aku dan Pak Marcel hanyut ke dalam permainan yang Pak Marcel buat, aku menarik wajahku untuk menjauh darinya. Kembali membuat jarak yang tadi sempat hilang tak bersisa.
Aku dan Pak Marcel saling tertunduk malu dan gugup. Kulihat, Pak Marcel menggaruk pelan tengkuknya yang aku yakin tidak gatal. Itu hanya alibi seseorang yang sedang canggung saat menghadapi saat-saat tertentu.
"Maaf." lirih Pak Marcel.
Aku tersenyum kecil. "Gak usah minta maaf, Pak. Saya juga salah." iya, salah. Karena udah hanyut ke dalam permainan lo. Ah, first kiss gue! Lanjutku dalam hati.
Pak Marcel hanya menganggukkan kepalanya. "Hm, Diva, bisa gak kalo lo gak usah berbicara formal sama gue kalau di luar jam kerja? Gak usah manggil gue Bapak juga. Gue kan bukan Bapak lo. Lagian, umur kita gak beda jauh kok."
Aku tersenyun kikuk mendengar perkataan Pak Marcel. Eh, maksudku, Marcel. Rasanya gimana ya... Kayak gak sopan aja gitu kalau aku memanggil atasan hanya nama saja tanpa embel-embel 'Pak' di depan namanya.
"Diva?" aku tersentak kaget mendengar Marcel memanggil namaku. Ah, aku melamun rupanya.
"Eh, iya? Kenapa, Pak- ah, maksudku, Marcel." kataku kikuk.
Marcel terkekeh pelan. "Lo lucu."
Ah, apalagi ini? Setelah kemarin Marcel memuji diriku cantik, sekarang dia memuji diriku lucu. Dia mau membuat aku ngefly, begitu maksudnya? Walau nyatanya aku memang ngefly sih, di puji seperti itu oleh Marcel. Ah, hentikan pikiranmu itu, Diva! Suara batinku mengingatkan.
"Diva, kalau gue nganterin lo pulang, boleh, gak?" di dalam nada suaranya tersirat jelas ada keraguan. Mendengar ajakannya itu, aku tersenyum kecil lalu mengangguk pelan. Gak ada salahnya, 'kan, kalau menerima tumpangan dari cowok ganteng di kantor? He he. Lumayan juga, 'kan, duit yang harusnya terbuang untuk membayar taxi, kembali tersimpan di dompet karena mendapat tumpangan gratis. Asal kalian tahu aja, yang namanya gratis itu paling nikmat, gak ada duanya. Percaya, deh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTBREAK
RomanceIni bukan tentang cinta dan bahagia saja. Tetapi juga tentang, sakit hati. Sakit hati karena merasa terasingkan, tidak dianggap, selalu di banding-bandingkan, di campakkan, di jadikan pelampiasan, dan di caci-maki. Hal itu membuat Adeeva Fredella se...