New World

95 11 18
                                    

Claire memutuskan, dirinya sedang kena sial. Yeah, sial karena pekerjaan ini mengungkungnya dalam kabin sempit berantakan, sial karena musim kemarau di Kuta benar-benar bikin seisi kantor bagai panci dengan air menggerobok, sial karena klien-klien kurang ajar bisanya hanya menambah beban hidup. Sudah begitu, bos tidak pernah mau memahaminya. Asal kerjaannya tak beres, cacat barang sekecil apa pun, itu tandanya Claire pemalas dan patut diceramahi sampai kupingnya mendidih.

Dan ya, Claire sudah cukup mendidih sekarang sampai seluruh tubuhnya melepuh. Malah mungkin, dia bisa terbakar tiba-tiba kalau didekatkan ke api.

"Aku mau keluar saja!" geram Claire begitu sampai di rumah. Gadis itu, yang pakaian kerjanya compang-camping bagai habis diterjang badai gelombang panas, melempar kedua tangannya ke udara berbau citrus artifisial.

"Claire! Jangan teriak-teriak! Sudah malam!" tegur ibunya entah dari mana.

"Oh! Aku tidak teriak-teriak, kok! Aku sedang menyanyi!" balas Claire, sadar betul dirinya kedengaran mirip penderita penyakit otak yang harus ditendang ke galaksi lain.

"Apa pula maksudmu dengan 'keluar saja' itu?" Ibunya, yang gempal mirip bakpau kebanyakan pengembang, mendadak sudah berdiri di ujung ruangan. Wajah tembamnya berlapis masker putih tembok kecuali di bagian mata dan mulut. Dia terlihat mirip hantu bermata kopong.

"Aku mau berhenti kerja, Ma," jawab Claire gamblang sebab dia paham, menyembunyikan semua ini tidak akan ada baiknya.

"Hah?"

"Jangan halangi aku," tegas Claire sembari melepas sepatu hak tinggi berbau jamur lembap dan membantingnya ke pojokan. "Aku sudah muak diperbudak. Mending jadi bos untuk diriku sendiri daripada disuruh-suruh. Maksudku, memangnya aku ini babu apa? Aku kuliah lima tahun, dapat gelar sarjana sampai bertengkar dan menangis, bukan untuk jadi pesuruh!"

Ibunya mengerjap beberapa kali. Lalu dia tersentak dan menjerit, "Kalau kau keluar, mau jadi apa kau?"

Ini dia! Pertanyaan ini yang sudah Claire tunggu-tunggu sejak tadi. Yeah, dia membuat keputusan besar untuk hengkang bukannya tanpa tujuan atau rencana matang. Claire Amaya, dua puluh tiga tahun, sarjana akuntansi dengan nilai pas-pasan, adalah gadis yang cerdas-dan dia tidak malu mengakuinya, terima kasih banyak. Claire Amaya selalu punya rencana dalam batok kepala berambut merah wine-nya.

"Aku akan jadi bos," jawabnya, memandang langit-langit seakan itu adalah lukisan taman firdaus komplit dengan malaikat dan bintang-bintang.

"Hah?" Ibunya mangap dan membeliak mirip ikan.

"Aku, Claire Amaya, akan membuka usahaku sendiri dan menjadi orang yang bebas. Jadi jangan mengekangku dengan tetek bengek tentang cinta atau jadi pegawai yang tak dihargai."

***

Clair de Lune

AH! Menakjubkan! Toko kembang kecil bertaraf internasional ala Claire Amaya baru saja menjajaki masa grand opening tanpa perayaan buang-buang uang atau MC menyebalkan. Tokonya sederhana-dibangun ala kadarnya di bekas garasi dengan furnitur murahan dari cuci gudang perumahan sebelah. Mobilnya? Sudah dijual! Ha! Claire merasa seperti gadis paling pemberani di seluruh Kuta!

Maksudnya, lihat sekelilingnya! Hanya ada bunga, lebih banyak bunga, beberapa kotak bibit, dan sedikit perlengkapan berkebun. Udara di toko ini wangi dan sangat alamiah, tidak seperti udara kantornya yang mengandung miliaran bakteri ketiak lolos dari serbuan deodoran. Claire suka bunga dan berkebun. Bunga, alam, bahkan humus tanah bau tengik adalah bagian dari dirinya.

Namun, hari pertama bisnis memang selalu tak memuaskan. Bahkan setelah Claire memasang spanduk raksasa bertuliskan BELI TIGA GRATIS SATU, pembeli yang mampir ke Clair de Lune cuma segelintir. Itu pun, 90% cuma melihat-lihat, 8% membeli bunga potong termurah, dan 2% cuma numpang menghina Claire. Seperti saat ini.

New WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang