[3] Ravelia; Masa Lalu dan Kini (2)

792 35 8
                                    

Enjoy!

Knock knock.”

Aku yang sedang membaca buku di perpustakaan terkesiap mendengar suara yang seperti ketukan pintu itu, padahal itu hanya suara orang. Sontak saja aku menengadah untuk mengecek siapa orang yang menyapaku.

Ck. Ternyata dia.

Aku berpangku pada satu tanganku sambil tersenyum miring. ‟Ada masalah?” tanyaku pada dia.

“Lo gak bosen apa disini mulu. Yakin gak bakal jamuran?” katanya sambil bersedekap dengan gayanya yang sangat keren.

“Aldo, Aldo. Selalu aja begitu. Kamu kan tau aku suka baca, so mana mungkin aku bakal bosen disini.” balasku sambil memutar kedua bola mata.

“Ohiya haha. Eh, lo diijinin gak sama mama lo?” tanyanya dan mengambil posisi duduk di depanku.

“Ohiya! Yah maaf Do, aku lupa. Hehe.” Aku tertawa kecil lalu menyeringai.

Aldo langsung mengacak-acak rambut yang sudah kutata serapih mungkin. “Selalu aja lupa, yaudah gapapa. Nanti sampe rumah jangan lupa ya lo minta ijin. Okay?”

“Ih! Selalu aja bikin berantakan. Kan udah aku rapihin tau!” teriakku memperingati Aldo dengan kesal.

Sorry, Aldinna.” balasnya dan langsung berlari.

Aku mendengus kesal. Aku tak pernah menyukai orang yang memanggilku dengan nama tengahku. Yang benar saja, Aldinna? Sounds freak. Aku kembali membaca buku yang kuhentikan sementara karena Aldo.

“Eh! Nanti pulang bareng ya!” Lagi lagi Aldo mengagetkanku yang sedang membaca buku, sehingga buku yang sedang kubaca terjatuh. Begitupun denganku, ikut terjatuh sama seperti bukuku.

“Ih! Jangan ngagetin apa! Bisa kan pelan-pelan ngomongnya, udah tau lagi asik ba–”

“Ssstttt!” saut orang yang berada di sekitarku yang mungkin merasa terganggu karena ocehanku yang kencang.

“Haha, tuhkan. Makanya jangan ngoceh mulu. Gak pegel tuh bibir.” ejek Aldo sambil mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku menepis tangannya dan berdiri sendiri. Sesaat setelah aku berdiri, langsung saja aku memukul lengan kekar Aldo dengan buku yang sedang kubaca.

“Nyebelin banget sih! Pokoknya aku gak bakal nemenin ke toko buku! Titik gak pake koma.” bentakku dan berjalan keluar dari perpustakaan.

“Eh! Gue cuma canda doang. Sensi amat sih jadi cewek.” teriak Aldo lalu menyusulku.

***

Suasana kantin siang ini sangat sepi. Hanya terdengar suara tawa dan derap kaki anak-anak yang mengunjungi kantin siang itu. Begitupun antara aku dan Aldo, hanya terdengar suara dentingan antara piring dengan sendok yang sedang kami pakai untuk makan.

“Rav, lo masih marah sama gue?” tanya Aldo diselang kami makan di kantin.

“Tau.” jawabku singkat sambil terus fokus kepada makananku.

“Gue serius Rav. Sorry deh, gue cuma bercanda.” Aldo terus meminta maaf kepadaku tanpa hentinya. Aku hanya terdiam, tak membalas ucapan Aldo.

“Rav, gue serius. Gue butuh lo banget, tadi gue cuma bercanda.”Aldo terus memohon kepadaku sambil menampakkan mukanya yang memelas.

Aku menengok ke arahnya dengan tatapan tajam, tapi sesaat setelah itu aku tak dapat menahan tawa karena ekspresi Aldo yang terlalu aneh. “Haha, ya ampun Do! Muka kamu jelek banget! Haha. Iya, iya aku maafin. aku juga cuma bercanda kok. Ngapain serius?” balasku yang sudah tergelak, sampai orang di sekelilingku dan Aldo langsung menghentikan pembicaraan mereka dan menatap ke arah kami berdua.

Countless [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang