[16] Perpisahan

400 22 16
                                    

“Setiap pertemuan, pasti akan ada perpisahan.”

Ravelia menutup buku tahunan sekolahnya. Ravelia paling tidak suka dengan kata-kata di halaman belakang buku tahunan-nya itu. Menurutnya, kata-kata “Setiap pertemuan, pasti akan ada perpisahan.” itu malah membuat perasaan menjadi lebih sedih.

Dua minggu yang lalu mereka semua telah di wisuda, perpisahan itu sudah terjadi dan kali ini Ravelia merasa bosan dengan hidupnya. Kerjanya hanya tidur, bangun, menonton tivi, makan, main, dan kembali tidur. Biasanya ia mempunyai banyak rutinitas di sekolah, tapi karena ia sudah lulus dari sekolahnya–dan sebentar lagi masa-masa SMA akan datang–maka apa gunanya ia datang ke sekolah. Yang ada, ia hanya bertemu dengan adik kelas, bukannya teman seangkatannya.

Merasa bosan, akhirnya Ravelia mengambil handphone-nya yang berada di nakas. Ia membuka chat LINE, Ravelia terus meng-scroll chat nya dengan salah satu teman laki-laki yang dekat dengannya, siapa lagi kalau bukan Andre. Tiba-tiba Ravelia langsung teringat sewaktu hari kelulusan kemarin.

“Andre, semoga kita bisa ketemu lagi, ya.” Ucap Ravelia pelan lalu menghela napas.

***

“Andre kita lulus!” teriak Ravelia kegirangan. Senyuman tak pernah berhenti menghiasi lekukan wajah perempuan yang berparas cantik itu.

Begitupun dengan anak laki-laki yang barusan ia sebut. Revaldi Andrean, kini ia begitu senang. Siapa sih, yang tak senang kalau dirinya dinyatakan lulus dengan nilai memuaskan? Asal kalian tahu, Andre menempati peringkat kedua sebagai lulusan yang mendapat nilai Ujian Nasional tertinggi. Eits, jangan salah juga, Ravelia pun tak mau kalah dengan Andre. Ia adalah anak yang meraih nilai tertinggi Ujian Nasional di sekolahnya.

“Alhamdulillah lulus. Ohya, selamat ya, cewek gabut! Lo jadi peringkat pertama di tahun ini,” ucap Andre sambil menggenggam tangan Ravelia.

Ravelia tersenyum makin sumringah. “Kamu juga ya! Selamat berhasil mendapatkan peringkat kedua.”

Andre tertawa melihat tingkah laku Ravelia. Rasanya ia tak ingin secepatnya berpisah dengan perempuan satu ini.

“Rav?” tanya Andre di sela-sela Ravelia sedang bercanda gurau bersama Andre dan teman-temannya.

Ravelia menyaut panggilan Andre dengan mata berbinar. “Iya?”

“Gue boleh bilang suatu hal gak?” tanya Andre.

Ravelia berpikir dan kemudian ia mengangguk tanda setuju.

“Tapi jangan disini, kita mau gak ke tempat biasa?” tanya Andre lagi mengajak Ravelia untuk ke suatu tempat yang  biasa mereka kunjungi, Rooftop.

Our favourite place, yeah,” gumam Ravelia sambil bersenandung kecil.

Andre tertawa mendengar gumaman Ravelia. “Ya, tempat favorit selama sekolah disini, kalau udah keluar, tempat favoritnya bakal beda lagi.”

Mereka menghentikan langkah kaki ketika sudah berada di ujung rooftop, ujung rooftop itu dibatasi oleh pagar beton setinggi perut, agar mereka bisa berpegangan disitu. Semilir angin menerpa rambut Ravelia yang lurus dan sedikit bergelombang di bawahnya. Terpaan angin membuat rambut Ravelia seakan-akan terbang kesana kemari, kadang menutupi sebagian wajahnya, kadang ke belakang. Efek seperti itu–menurut Andre–membuat aura Ravelia semakin cantik.

“Ndre, mau ngomong apa?” tanya Ravelia menyadarkan Andre yang terlihat melamun. Sontak pikiran Andre menjadi terpecah mendengar suara Ravelia.

“Ngg, itu....” Andre mengusap pelan tengkuknya sebelum melanjutkan pembicaraannya.

Countless [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang