[7] Kebenaran

575 32 13
                                    

Ctok.” Bunyi permen karet yang baru ditiup lalu meletus terdengar keras. Ravelia –yang sekarang sedang menunggu kakaknya menjemputnya– kembali meniup permen karet menjadi gelembung dan kembali meletuskannya. Tetapi sebelum Ravelia meletuskannya, balon permen karet tersebut sudah duluan diletuskan oleh benda kecil yang dipegang oleh–

“Andre!” teriak Ravelia di depan muka Andre. “Sorry. Ganggu gak?” tanyanya merasa tak berdosa sama sekali.

“Gak kok. Gak ganggu sama sekali, malah menghibur banget,” balas Ravelia penuh dengan nada sarkasme yang terkandung. “Lo, gak pulang?” tanya Andre sambil memakai helm yang sedari tadi ia tenteng. “Belum dijemput,” jawab Ravelia singkat.

“Mau bareng gak? Mumpung gue bawa motor?” tanya Andre lalu menawarkan helm berwarna pink –yang sepertinya– milik Zafa.

“Gak, makasih. Aku nunggu kakak aja disini,” tolak Ravelia dengan halus. “Oh oke.”

Tiba-tiba saja hujan deras langsung mengguyur sekeliling mereka. “Yah, pake hujan lagi. Gimana gue mau pulang?” ucap Andre sambil melepas helm yang tadi sudah dipakainya. “Pake jas hujan, bisa 'kan?” tanya Ravelia tanpa sedikitpun menoleh kearah Andre.

“Haha, sayangnya gue gak bawa jas hujan,” Ravelia menoleh cepat ke arah Andre dengan tatapan 'Yang-Bener-Aja' nya.

“Tatapan lo kayak tokoh Maleficent di Aurora,” celetuk Andre sesaat setelah melihat tatapan Ravelia yang seperti tatapan maut. “Kok kamu bisa tau tokoh itu?” tanya Ravelia bingung.

“Adek gue sering nonton film begituan. Yaa, otomatis gue tau,” balas Andre lagi sambil melihat ke arah langit. “Lo tau gak, kenapa hujan selalu buat nyaman?” tanya Andre melanjutkan omongannya.

“Gak. Emang kenapa?” jawab Ravelia sambil memandangi rintik-rintik air hujan yang terus menerus mengguyur sekeliling mereka. “Gatau buat nyaman aja. Banyak orang bilang hujan itu buat dingin, padahal sebenernya hujan membuat suasana hati kita jadi hangat.”

Ravelia hanya mangut-mangut. “Oh, bagus juga pemikirannya,” Mereka berdua seketika terhanyut dalam diam. “Eh, boleh nanya gak?” tanya Ravelia setelahnya.

“Boleh kok. Tanya aja,” balas Andre tanpa menatap mata Ravelia. “Hm, kamu itu... Kamu... Sejak kapan–” Omongan Ravelia terputus saat ada suara motor datang. Dan ternyata itu adalah kakaknya.

“Eh, kak Revo udah dateng. Duluan ya!” ucap Ravelia dan segera berlari ke arah kakaknya memarkinkan motor. Andre hanya tersenyum lalu kembali memakai helmnya.

***

Duk duk duk. Suara ketukan antara sepatu dan lantai terdengar lumayan keras, karena saat itu suasana sekolah lumayan sepi. Padahal sedang istirahat.

Sepatu –yang sepertinya– bermerek dan terlihat mahal itu, terus melintas melewati kelas demi kelas. Dan pada akhirnya si pemilik sepatu menghentikan langkah tegapnya, berhenti di depan kelas 9-1

“Ada Ravelia gak?” tanya si cowok –lebih baik menyebutnya– Andre kepada beberapa orang yang sedang bersantai di depan kelas.

“Ada kok, tunggu sebentar ya,” ucap salah satu cowok bertubuh gempal. Ia mengintip dari pintu dan berteriak. “Ravelia! Ada pengunjung nih, cowok!” teriak cowok bertubuh gempal tersebut.

Sontak semua mata langsung tertuju kepada Ravelia yang sedang sibuk berunding dengan Shiva. Ravelia bingung kenapa semua temannya menatapnya seperti itu. Ia hanya membalas tatapan teman-temannya, dengan tatapan polos layaknya kucing.

“Ravelia punya pacar!” Tiba-tiba salah satu cewek di kelas berteriak seperti itu, dan sangat jelas langsung mengundang sorak sorai. Andre yang melihat dari luar hanya bisa menahan tawanya.

Countless [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang