Empat : Balutan

97 20 46
                                    

Satu per satu huruf terbalut putih. Helaiannya membelai. Butuh beberapa gulungan hingga keenam huruf tidak lagi berpijar. Selama tangan kanannya berkeliling, tidak sekalipun jemari ibu menyentuh goresan nama ‘Yuniar’. Lalu setelah keenam huruf tertutupi tanpa celah, ia akhiri dengan sesimpul pita dan senyum.

“Loh, kok dipitain? Jadi aneh, Bu.”

“Enggak, kok. Perasaan Desi aja.”

Memang jika diperhatikan, pita itu simetris dan terkulai lemah di tempat huruf ‘U’ bersarang, memberi kesan tidak hampa.

Di ruangan yang seperti penjara ini hanya ada kami berdua yang duduk menjuntai kaki di ranjang. Tadi ibu minta waktu untuk berdua. Novi dan perawat mengangguk penuh pengertian. Jadilah kami berdua yang memberi kesan tidak hampa bagi ruangan ini. Walaupun aku hanya bisa menyumbangkan satu atau dua kalimat.

“Dari dulu, ibu kan yang selalu mengikat tenda kalau kita berkemah. Masa ibu gak tahu cara bikin simpul yang bagus," ucapnya

Kusunggingkan senyum. “Tapi tetep, Bu. Gak wajar aja ngelihatnya.” Sambil mengayunkan kedua sisi pita.

“Sudah-sudah. Anggap saja hadiah. Daripada ditali mati, loh.” Ibu terkekeh. “Lagian tadi kan Desi yang merengek minta di balut ibu.”

“Iya, tadi aku terbawa suasana, Bu. Lagian tadi juga ibu yang maksa ke suster supaya ibu yang membebatnya.”

Ibu tidak menjawab. Dari matanya tampak jelas bahwa dia sedang mencoba untuk mengenali orang sedang menjadi lawan bicara. Mungkin seseorang bernama Desi ini tidak bicara dengan nada yang seharusnya. Bisa saja senyuman atau tatapan yang keluar berbeda dari yang lalu. Jelas sekali aku bukanlah Desi yang dia kenal.

“Perbannya terlalu ketat, gak?”

“Nyaman, kok, Bu.” Dengan acungan jempol dari tangan yang dibebat lalu terbenam lengan piyama.

Cukup satu kata untuk menjelaskan rasanya. Tidak perlu kujelaskan hangat yang ikut membalut hati. Tidak akan pula kujelaskan pertanyaan yang melilit otak. ‘Apa memang ini keputusan yang tepat?’ Harusnya pertanyaan itu diabaikan saja. Toh pikiranku tidak bisa mengerti segala hal yang terjadi. Bahkan sudah tidak ada lagi hal yang tersisa dari mimpi yang pernah kuocehkan selain kedua nama yang cukup susah dibedakan. Hanya bisikan hatikulah yang seharusnya kuikuti di tengah seluruh pertanyaan.

“Des?” panggil ibu lembut, menggebah lamunanku.

“A-apa, Bu?”

“Desi masih belum ingat ibu, kan?”

Keraguan menyumpal tenggorokan. Jelas-jelas ibu tahu jawabamnya. Satu kenangan sama saja dengan tidak ada. Diamku saja sudah menjawab pertanyaan, malah mungkin ditegaskan dengan raut wajah yang entah seperti apa wujudnya.

“Tidak apa-apa. Lagian baru seminggu,  kan?” Diakhiri dengan senyum terpaksa yang kentara

‘Setiap momen sekecil apapun benar-benar nyata dan terjadi di depan mata Novi!’

“Desi ingat ibu, kok,” kaku lidahku mengucapkannya. “Ibu menuntun tangan Desi dan Novi saat ke Danau Mutia. Desi ingat wajah ibu yang begitu lega ketika menemukan kami.Saat ibu memeluk kami berdua lalu saat kita naik perahu mengelilingi Danau Mutia. Semuanya sejelas baru terjadi kemarin. Tapi hanya itu yang bisa Desi ingat, Bu.” Erangan mengisi kalimat terakhir.

Dua lengan melingkari pundakku. “Tidak apa-apa, Des. Satu kenangan saja sudah cukup, kok.”

“Tapi Desi…”

“Cup… Nak.” Suara ibu gemetar girang.

Samar-samar terdengar senandung, ibulah yang melantun. Melodinya mengalun seperti angin yang berdesir. Seolah-olah ada lonceng-lonceng yang ikut berdenting karena tertiup lembut. Deretan nadanya sangat familiar di telinga entah kenapa.

“Makasih, Bu. Tadi lembut sekali. Rasanya Desi ingin dininaboboin kayak dulu.” Dua kata terakhir terlepas begitu saja.

Ibu langsung menuruti permintaan itu sambil mengusap rambutku.  Suara ibu mengembunkan air mata. Kepalaku terasa berat sehingga kini berbantalkan pahanya. Telunjuk ramping ibu menelusur menuju pelipisku. Ini sesuatu yang belum pernah kurasakan, kelembutan seorang ibu saat mengiringi si buah hati ketika tidak bisa tidur karena mimpi buruk atau hujan yang riuh di luar. Kali ini mungkin tidak ada bedanya.

Senandung ibu kini sedang membalutku lebih hangat dari selimut apapun, bahkan badai di luar tidak mampu menggigit badan.  Lalu ketika aku membuka mata, mimpi buruk tadi akan hilang seperti mimpi lainnya, dan badai pasti telah reda.

Mimpi yang indah…

------------------------------------------------

Halo, yang beres baca. Gimana bab ini? kependekan, ya? Atau malah gaje?

Well semoga kalian bisa menikmatinya.

Seperti biasa kasih vote jika suka dan komen jika ada pendapat atau semacamnya. Krisar sangat diperlukan supaya part selanjutnya makin greget.

Well, see you next time. ;)

Hidupmu HidupkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang