Delapan : Tatapan

42 7 7
                                    

"Kamu itu, ya. Bisa gak kalau ketemu ama cewek pasang senyum dikit?" Kapan terakhir kali aku mendengar nada ketusnya itu? Bulan yang lalu? Setahun yang lalu? Satu kehidupan yang lalu? Entahlah, begitu besar rasa rindu untuk menatap bulu mata lentik di atas sorot matanya yang usil. Ingin aku menangis karena perasaan yang meluap namun sama sekali tidak bisa.

"Matamu itu punya semacam jurus ilusi, tahu. Buktinya si murid baru langsung pingsan," lanjutnya tetap sarkastik. Aku tahu betul bahwa dia tidak bersungguh-sungguh dalam berkata. Suatu hari dia berkata bahwa semua ucapan pedas itu hanya untuk menarik senyumku yang telah lama merapat. Sayangnya, sunggingan yang ia harap, tidak kunjung tercipta.

Perlahan wajah eloknya pudar tertelan cahaya. Hanya dalam gapaian tangan jarak kami berdua, tetapi tubuhku mematung, menghadap cahaya yang kian membutakan.

***

Plafon kusam menyambut kesadaranku. Tubuhku terlentang di atas matras tipis yang tidak dapat menyembunyikan tonjolan permukaan papan kayu di bawahnya. Cahaya dari langit timur memenuhi ruangan ini, begitu pula aroma obat dan pengharum yang menyatu.

"Hei," seseorang berbisik, "Kamu sudah bangun?"

Secepat mungkin kubangunkan diri setelah mendengar suara ramah tadi. Seketika rasa sakit menghujam kepala; membuatku meringis.

"Eit, jangan rusuh kaya gitu, dong." Sepasang tangan memegang kedua belah pundak. "Istirahat aja dulu. Kamu masih pusing, tuh."

Ya, Tuhan. Apa aku tidak salah dengar? Tidak diragukan lagi suara itu adalah suaranya. Itu cara dia bicara. Aroma sampo urang-aring favorit gadis itu terhirup tanpa gangguan. Dan di dadanya, sebuah nama yang sama dengan yang terukir di tangan kiriku. Kumohon, Ya Tuhan, jangan mempermainkan diriku! Jika sosok yang di depanku bukan dia, maka cepat tunjukan kenyataannya!

Daguku bergetar saat mengangkat kepala sambil memejamkan mata. Kumohon.

Yang pertama terlihat kali ini adalah senyumannya. Tulus, tidak ada kepura-puraan. Dua rona yang selalu setia mengawal bibir tipis itu tersenyum juga tampak. Dari jarak yang membiarkan napas kami saling mengusap wajah, iris coklatnya menampilkan pola unik nan lembut layaknya kain batik.

"Ka-" Langsung kudekap dia seerat mungkin. Kehangatannya, aroma tubuhnya, kelembutan kulitnya, semua nyata di dekapanku. Tidak ada darah, luka, atau memar. Dia masih hidup. Air mata dan hidungku tumpah tak terkendali. pelukanku semakin erat.

Tolong jangan pergi lagi! Jangan tinggalkan aku lagi!

"Cup-cup! Tidak apa-apa." Dia memeluk balik, salah satu tangannya mengelus ubun-ubun. "Yanuar memang kaya gitu orangnya."

Aku terperangah karena ucapannya yang terakhir. Apanya yang aku?

"Itu loh, dia yang tadi hampir menghantam kamu dengan pintu."

Siapa yang dia maksudkan? "Ini ak-"

"Salah dia sendiri, lah!" suara yang tegas terdengar dari balik Yuniar.

Yuniar membalikan kepala, "Hentikan, Yanuar! Dia masih syok!"

"Terus karena dia masih syok, semuanya harus disalahkan kepadaku, gitu?"

"Yanuar!"

Lelaki itu berdiri, menunjukan tubuh jangkung dan rambut tebal berantakan. "Dia sendiri yang melamun di depan pintu!"

"Siapa yang menyalahkan kamu, Yan? Kalian berdua gak ada yang salah. Ini murni kecelakaan."

Keringat dingin terasa membasahi punggung. Melihat wajah sawo matang di pojok ruangan, seperti melihat cermin. Semua sama percis. Blazer hitamnya dibiarkan terbuka, seakan memuntahkan ujung bawah seragam putih. Bahkan sepatu low top kumal yang sama juga menjadi alas kaki. Manik hitam tajamnya menatap balik. "Apa kau lihat-lihat?!"

Wajah berseri Yuniar kembali memenuhi pandangan, "Sudah, gak usah peduliin dia. Dia itu emang gak pandai bergaul."

"Bukan itu!" ucap kami--aku dan orang di pojokan--serentak.

Yuniar membolak-balik kepala; kebingungan. "Kalian kok bisa kompakan gitu, yah?"

Suara peluit dan sorakan orang dari luar, menyusup mengisi keheningan.

"Pokoknya kamu istirahat aja, dulu. Ngomong-ngomong nama kamu siapa?"

"Aku Yan-" Tiba-tiba semacam sensasi tusukan muncul di dada dibarengi dengan desingan yang memekakkan telinga. Tiga butir air menetes memberikan corak abu-abu lebih gelap di rok.

"Sudah, kamu gak usah maksain dulu." Yuniar meraih segelas air minum di samping kacamataku. "Ini, kamu minum dulu."

Aku diam memperhatikan uap menari lembut di atas gelas yang sedang tergenggam.

"Kamu perlu obat, gak?"

Aku menggelengkan kepala. Segelas air tadi habis terteguk. Aliran air di kerongkongan perlahan menjernihkan kesadaran.

"Jadi, tadi nama kamu siapa?"

"Yan-" Sekali lagi badanku tertangkup karena rasa sakit yang menjalar. Kini tangan Yuniar juga ikut gemetar. "Yan... Yan... an." Suatu hal mencegah nama itu selesai terucap, bahkan menghisap suara untuk mengatakannya.

"Namanya Desi Damayanti! Kau gak denger pengumuman ibu Nur kemarin," sergah lelaki di belakang Yuniar.

"Yanuar, tolong pelankan suaramu."

"Bukannya kau bilang dia butuh istirahat? Kau sudah tahu namanya, kan? Sekarang ayo kita balik ke kelas. Biarkan dia istirahat."

"Tapi dia belum tahu namaku, Yan. Lagian kalau perkenalannya diwakilin, mana bisa disebut perkenalan."

"Terserah kau saja, lah!" Lelaki itu kembali duduk, lalu merogoh sesuatu dari sakunya.

"Hanoman?" gumamku.

Yuniar mengernyit lalu melacak arah pandanganku. Kami kemudian memandang sosok yang sama. Ketajaman yang tadi ada di matanya, digantikan keteduhan. Lelaki itu mempermainkan figur kecil. Tidak diragukan lagi boneka kecil itu Hanoman meski dari sini tampak buram.

"Oh, benar. Dia itu Hanoman. Hanya saja Hanomannya lagi bad mood jadi terus menggerutu, deh."

Tanpa sengaja tawaku terlepas karena ucapannya. Begitu mudah tubuh ini tergelak. Andai saja wajah di pojokan juga ikut tertawa--setidaknya mengulas sedikit senyum, tapi hanya wajah dingin yang terlihat.

"Karena si Hanoman udah nyebutin nama kamu tadi, jadi," dia mengulurkan tangan dengan rentetan gelang pelangi di pergelangannya. "Perkenalkan, namaku Yuniar. Senang berkenalan denganmu, Des."

"Tapi, aku buk ...." Lagi, kalimatku tidak selesai.

"Astaga, kamu kayaknya sakit parah. Mau pulang saja?"

Apa yang terjadi dengan tubuhku? Seluruh selnya seakan ikut meringis kesakitan setiap ingin menyatakan diri. Apakah ini semacam kutukan?

"Enggak apa-apa. Saya bisa maksain sedikit."

"Beneran? Aku khawatir kalau nanti terjadi apa-apa."

"Gak apa ...."

"Kalau sakit pulang sajalah!" Aku yang lain kembali bersungut. "Untuk apa kau memaksakan diri? Untuk nilai, kah? Lagian gak bakal ada yang peduli kalau si murid baru pulang karena sakit di hari pertamanya. Semuanya terlalu sibuk buat nyiapin perpisahan mereka yang 'luar biasa' untuk tahun depan."

Pikiranku seketika terpaku dalam satu kata: Perpisahan. Pasti itulah sebabnya kelas MIPA satu sedang ramai. Tapi bukan itu yang membuatku gemetar mendengarnya, melainkan apa yang akan terjadi pada hari itu. Iya, pada hari yang cerah itu ....

"Hush! Kamu duluan aja kalau mau ke kelas, Tuan Hanoman yang penggerutu." Kali ini dia meraih kacamataku lalu menggosokan lengan baju ke lensa dengan lembut. "Ini, kamu udah pengen banget ke kelas, kan?" Cara dan wajahnya sama seperti saat memberiku boneka Hanoman.

"Iya, tolong."

Tolong jangan terulang kembali.

------------------------------------------------

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 12, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hidupmu HidupkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang