Tujuh : ... Awal

26 7 7
                                    

Seusai tangan kanan memasukan manset lengan kiri ke lubangnya, maka selesai sudah persiapanku pagi ini. Kutatap balik bayangan yang tercipta oleh kaca meja rias di depan. Blazer biru malam menutupi seragam SMA yang lalu. Seragam ini sepenuhnya menyembunyikan keterasinganku terhadap sekolah yang baru, begitu pula sebuah nama yang terukir di tangan kiri. Tanpa disadari, aku meraba-raba kain kaku di atas nama itu.

Kutampar kedua pipi sendiri. Tidak perlu meratap lagi. Sudah seminggu sejak kepindahanku ke tempat ini.  Namanya juga sudah mulai pudar, hanya menyisakan garis tipis merah muda, tidak sekelam dulu. Aku sudah bisa membalut nama itu sendiri, dan soal melupakannya cepat atau lambat pasti akan tiba.

Ada satu hal yang mengganjal, sesuatu yang harusnya ada di balik kedua lengan seragam, bukan sesuatu yang pucat pasi melainkan warna-warni. Mungkin perasaanku saja.

Lekas kugandeng ransel yang dari tadi bersandar di kaki kursi tempat aku duduk. Tidak lupa menutup kembali jendela yang berhadapan dengan Danau Mutia. Lalu turun ke lantai bawah untuk sarapan bersama nenek dan ibu.

***

Mobil angkot berwarna hitam ini menjadi tumpanganku saat pertama kali ke SMAN Ciasta untuk pengukuran pakaian dan prosedur pendaftaran kepada staf sekolah. Tempat duduknya juga sama--yang paling dekat dengan pintu. Hanya aku seorang yang menumpangi kendaraan ini dengan berseragam, anak-anak sekolahan yang lain kerap menyusul mobil ini dengan sepeda motor mereka.

Kendaraan ini diam, begitu pula dengan kendaraan di depan dan di belakang, baik roda dua maupun empat. Tidak terlihat kepala dari kemacetan ini. Wajah-wajah resah muncul dari para pengendara yang mendongakan kepala.

Tidak apa, lagian di area pegunungan seperti ini, mana mungkin macetnya seperti perkotaan. Kukeluarkan diary dan pulpen untuk mencatat kejadian hari ini.

Pagi ini langit masih bersih, belum ada gula-gula putih. Angin meniup puncak pohon kayu putih dengan halus...

***

Seusai ditegur oleh guru berparas garang, dan bel menandakan periode pertama telah berakhir, akhirnya aku beserta puluhan murid lainnya yang kurang beruntung disuruh berlari ke ruangan piket. Bapak guru tadi seakan menargetkan segala amarahnya kepadaku. Beliau bilang, "Kalau pindah kesini hanya untuk melanggar aturan, mending jangan sekalian!' Alhasil murid-murid lain di samping memandangku penuh heran.

Macet tadi membuat angkot yang kunaiki tiba lima belas menit lebih lama. Tidak hanya itu, jalanan menuju sekolah jauh lebih sempit dari jalan raya, tak ayal macet kedua terjadi karena jumlah sepeda motor para murid yang membuat jalanan lurus ini layaknya tempat di perkotaan. Konyolnya diriku karena memutuskan untuk mencari jalan alternatif yang hasilnya malah membuat tersasar. Sial sekali hari pertamaku ini.

Setelah mendapat surat izin, aku langsung bergegas pergi. Dua belas IPA satu tujuanku.

Sekolah ini permukaannya menanjak. Kelas dua belas terletak paling ujung sekaligus di dataran yang tertinggi. Murid-murid lain tampak khidmat mengikuti bimbingan guru di dalam kelas. Berbeda dengan kelas yang sebelumnya terlewati, kelas tujuanku terdengar gaduh, tampaknya sedang jadwal kosong. Aku berdiri di depan pintu, menimbang-timbang haruskah aku masuk sekarang?

Samar-samar terdengar suara yang riang yang tidak asing. Tiba-tiba pintu itu terbuka. Sontak dadaku berdebar karena ujung daun pintu hampir menghantam hidung. Lelaki yang membuka pintu menatapku tajam dan tanpa rasa bersalah sama sekali. Kami bertatapan. Kini debaran di dada diikuti dengan rasa menusuk di kepala, menumbangkan tubuh.

Menyusul lelaki itu, seorang perempuan berambut panjang berkilau berlari ke arah kami. Tidak seperti si lelaki, perempuan itu langsung menopang punggungku sambil bertanya, "Ka-kamu kenapa?"

Nyeri yang luar biasa memaksaku menjerit. Air liur, mata, dan keringat mulai timbul dari lubangnya masing-masing. Tangannya yang bergelang warna-warni mulai pudar dari pandangan. Kenapa? Kenapa ini bisa terjadi?

"Yanuar, jangan bengong kaya gitu terus, dong! Tolongin cepat!"

Kenapa aku bisa melupakan dirinya?

"Yuniar."

....

----------------------------------------------------------------------------------------

....

Hidupmu HidupkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang