Dua: Kenangan

226 33 72
                                    

"Nih, buatmu."

Aku memperhatikan benda kecil yang sedang terbaring di telapak tanganku.

"Mmm... Hanoman?"

Bibir merah jambunya menyembul. "Udah, jangan banyak protes! Lagian kamu itu emang kaya Hanoman."

"Gak miriplah," sanggahku malas. "Sejak kapan aku rela menolong orang lain?"

Kekesalan semakin jelas di wajah Yuniar. "Ih, Kenapa kamu itu antisosial banget sih?"

Aku hanya mengangkat pundak menjawab pertanyaan retorisnya. Tanpa mempedulikan dirinya yang akan melayangkan omelan lain, aku beranjak pergi darinya.

"Yanuar, mau kemana kau?!"

"Pulang."

Tidak kusadari gadis berambut hitam berkilau itu berdiri di depanku. Beberapa gelang warna-warni tampak menggantung di pergelangan tangannya yang terbentang.

"Astaga, ini baru setengah jam. Kenapa kau sudah mau pulang?"

"Bosen."

"Bosen?" Yuniar berkacak pinggang. "Apa sih yang ngebuat lo bosen? Kios banyak. Mainan banyak. Lo tuli ya? gak bisa denger keceriaan disini."

Malam itu malam yang meriah. Memang benar katanya. Setiap panen padi, desa kami mengadakan pasar malam. Ratusan lapak bergumul di pesisir danau Mutia.Permukaan danau mengalir lembut mencerminkan langit penuh gemintang. Sahutan penjual lapak dan canda tawa terdengar di mana saja.

"Yah, kayanya keramaian seperti ini gak cocok sama aku," timpalku seusai menyapu pandangan ke setiap kios.

"Aku jadi nyesel ngajak lo, Yan."

"Ya udah aku pul... Hei!"

Yuniar merenggut tanganku dengan kasar. Tanpa berkata apa-apa dia menarikku ke arah sebaliknya dari yang tadi aku tuju.

"Lo gak suka keramaian, kan? Ikut gue sekarang juga!"

Yuniar membawaku ke galangan. Di sana beberapa sampan sedang berayun manja di atas air. "Mas, satu keliling ya."

Pria dengan topi boonie itu mengangguk lalu memegang moncong sampan sambil mempersilahkan kami menaikinya.

"Sepuluh ribu untuk muterin danau? ini korupsi namanya," ucapku seraya mendaratkan dudukanku.
"Sht... Kamu itu gak sopan banget!" bentaknya membisik."Gimana kalau si masnya denger?"

Bapak pemilik kapal mulai berdayung. Kami bertiga diam. Hanya menikmati ayunan danau Mutia. Keriuhan sayup-sayup terdengar di sela-sela dayungan.

"Gimana, kamu suka?" Yuniar membangunkanku dari lamunan.

"Iya."

Yuniar menghela napas sambil menyisir rambutnya yang senantiasa bergemulai diterpa angin. Setelahnya, dia menoleh ke arah festival yang seakan menampilkan gelora matahari terbit. "Mungkin seperti inilah rasanya menjadi dirimu."

Aku menatapnya lekat. Tidak menjawab.

"Kau selalu sendiri. Seakan kau punya dunia yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, yang selalu menemanimu. Jujur, orang-orang termasuk aku merasa aneh melihatmu. Tapi aku kagum malah iri melihatmu bisa bahagia dengan kesendirian.

"Kita sudah saling kenal sejak pertama kali aku pindah ke sini. Aku melihatmu dari bocah ceria hingga menjadi penyendiri seperti sekarang.Kau seperti orang asing, Yan."

Aku bergeming menatap pantulan wajahku.

"Jika ini karena meninggalnya ibumu, tidak apa. Tapi kau harus belajar merelakannya. Ibumu akan sedih jika melihatmu seperti ini."

"Bukan..." gumamku lirih namun terhenti olehnya.

"Jadi..." Sampan kecil ini terhentak ketika Yuniar tiba-tiba berdiri. "Biarkan aku masuk ke duniamu, kumohon. Untuk menemanimu. Aku ingin kita tertawa lepas seperti saat dulu kala kita masih kecil."

"Baiklah." Dihadapkan senyuman setulus itu, aku tidak mungkin mengatakan tidak.

***

"Semua itu hanya mimpi!" Jawab si ibu ketika kuceritakan sepenggal kisahku. "Dokter bilang, kau terkena amnesia ringan. Sadarlah, Des! Kenangan kitalah yang nyata. Bukan mimpimu itu."

Semua itu nyata! Inginku berteriak, tapi suara kecil di hatiku berkata jangan. Akhirnya aku hanya menunduk--sama seperti ibu yang duduk di hadapanku--sambil sesekali mengintip kelopak matanya yang basah.

"Aku tidak mengerti."

"Apa yang tidak kau mengerti? Kenanganmu tentang hidup sebagai lelaki hanyalah mimpi, dan ingatanmu yang sebenarnya sedang hilang."

"Bukan itu!" sanggahku. "Aku bukan Desi. Aku Yanuar. Entah kenapa semua ini bisa terjadi."

"Dua tahun ini kau koma, Des. Itulah kenapa."

"Tadi kau bercerita tentang danau Mutia." Dia sesenggukan seraya mencari kata. "Kita juga pernah kesana. Ibu, Novi, dan kamu, Des. Kamu berlarian mengelilingi pasar malam bersama Novi. Ibu sempat kehilangan kalian. Ibu sangat lega bisa menemukan kalian.Kalian langsung merengek minta naik sampan. Ibu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah kalian saat itu."

Tidak, bukan itu yang terjadi. Jelas sekali aku pergi bersama Yuniar. Ia memgundangku suatu sore. Kami berkeliling. Sesampainya dia berlarian di depanku, aku mengikutinya tak tahu arah. Kami tertawa bersama meski pada akhirnya dia menangis ketika menyadari kami terpisah dari ibu.

Tunggu. Siapa gadis itu? Rambutnya sependek bahu, berbeda dengan Yuniar. Dia memakai gaun one piece hijau. Dia tampak seperti anak SD.

Yuniar tidak seperti itu. Dia...

Seketika kepalaku diserbu nyeri. Kukatupkan kedua tanganku di sana seraya menjerit pecah. Keringat mulai merembes dari setiap pori.

Beberapa saat kemudian, pintu dibuka. Entah berapa perawat dan dokter yang merangsek masuk.

Di tengah jeritan yang begitu perih aku keluarkan, aku dapat mendengar satu perawat dan ibu itu berdebat. Si ibu kokoh ingin bersamaku. Dia memegang kedua tanganku--yang masih terkatup di kepala.

Seketika kutepis tangannya dan mengempaskan diri di ranjang. Tusukan dan desingan tak tahu darimana terus menyiksa kepalaku.

Ruangan kecil itu gaduh. Jeritanku, tangisan ibu, dan kata-kata tergesa dari para perawat. "Astaga, bu. Kakak kenapa?" Suara gadis penuh tanya dan cemas itu menerobos keributan.

Aku menundukan kepala untuk melihat siapa.

Dia gadis kecil di pasar malam saat itu. Yang menggantikan senyuman Yuniar.

Kumohon berhentilah... Hentikanlah semua ini...

------------------------------------------------

Hai guys!!!
Gimana ceritanya kali ini?
Maaf ya kalau kelamaan updatenya, soalnya banyak masalah di real lifenya :'( (Malah curhat jeplaks!!)

Kalau suka dimohon votenya + commentnya.
Kalau gak suka kritik pedasnya siap diterima.

Pokoknya mau suka atau gak wajib komen!!! (Eh malah jadi Yandere. Lupakan)

Btw semoga kalian menyukai ceritaku.

See you next time ;)

Hidupmu HidupkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang