Satu : Harapan

390 51 87
                                    

Langit biru. Mataku buram memandang laju malas segumpal awan dan sebuah plat besi bengkok ditepi tebing. Tubuhku hanya bisa terlentang di tanah. Rasanya setiap tulang ditubuhku telah patah.

Ban sepeda motorku masih berputar pelan disampingku walau tubuh kendaraan itu sudah tak berbentuk. Sepertiku. Pikiranku juga terus berputar--lebih terasa melayang. Inikah akhir hidupku? Jika iya, maka cepatlah ambil nyawaku, Tuhan!

"Yan...uar..."

Seseorang memanggilku. Kedengarannya bukan malaikat maut yang sedang menjemputku. Suaranya lirih dan juga payah. Siapa yang memanggilku? Aku tidak bisa menoleh ke asal suaranya. Yang tentu kurasakan adalah kehilangan sesuatu yang teramat penting.

"Yan...uar...Ya...ar..."

Kucoba memasang telingaku dan berkonsentrasi untuk mencari tahu suara yang begitu dekat itu.

"Yanuar"

Dadaku sesak, sangat sakit. Aku ingat sekarang mengenai suara riang yang selalu cerewet memanggilku.

Tubuhku terbanting ketika aku membalikan tubuhku. Dia disana, Yuniar sedang sekarat. Nada riangnya digantikan rintihan serak. Seluruh tubuhku terasa berat. Tanganku tidak bisa menggapainya, untuk menyentuhkan ujung jari saja tidak bisa.

Yuniar hanya beberapa langkah di depanku tapi aku hanya bisa merayap dan menatap mata coklat yang kini sedang meredup.

Mata kami bertemu, dan pada saat itu dia hanya tersenyum walau mulutnya bersimbah darah.

Jangan! Jangan tersenyum seperti itu! Tolong, aku tahu arti senyum itu.

"Yuniar," hanya udara yang keluar dari tenggorokanku.

Dia mematung.

Tuhan, aku tarik kembali permohonanku. Aku tidak ingin nyawaku dicabut. Tolong putarkan waktu atau berikan aku hidup lagi. Berilah dia kehidupan yang kedua. Aku hanya ingin membahagiakannya lalu mengucapkan selamat tinggal padanya seperti yang ia lakukan dengan senyumnya.

Perlahan pikiranku memudar. Do'a-do'a di hatiku semakin pelan. Senyum Yuniar masih melengkung di wajah pucatnya. Senyum itu semakin bercahaya, membutakan mataku.

***

Cahaya dari senyum Yuniar masih membutakanku. Tuhan tidak mendengar permohonanku. Sombongnya diriku meminta permohonan yang begitu besar padahal aku hanya seorang pendosa. Kini aku hanya merasakan kekosongan di sebuah tempat putih.
Lambat laun di ujung pandanganku aku melihat sebuah garis tipis. Sebuah bunyi ketukan dapat kudengar. Hingga aku sadar yang kulihat kini adalah langit-langit.

Dapat kurasakan setetes cairan mata bergulir di pipiku.

"Syukurlah, kamu sudah sadar," puji seorang wanita. Terdengar jelas kelegaan dalam suara itu.

Suara itu terdengar asing. Suara tersebut seperti keluar dari mulut sesosok ibu.

Tapi sejak lahir, aku belum pernah melihat sosok ibuku.

"Desi, bangunlah nak."

Sontak aku menoleh ke arah suara itu. Pandanganku sudah jelas, aku tahu ini rumah sakit tapi aku tidak tahu dengan wanita yang menatap penuh kegembiraan padaku.

"Ibu siapa?" tanyaku.

Kegembiraan sedikit terhapus dari wajahnya. "Ini ibu, nak. Ibumu."

Inikah ibuku? Tidak ada kemiripian dengan sosok di foto kusam yang tidak sengaja kulihat di sebuah album.

Ibu itu menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya mulai memerah bersamaan dengan turunnya air mata di pipinya.

"Jangan bercanda, Des. Masa kamu gak ingat ibu." ucapnya sendu. Aku tetap tidak mengerti apa maksudnya dan siapa yang dia sebut Desi.

Air matanya kini tak bisa dibendung. Terdengar jelas ia mengerang ketika mencari sesuatu di tas tangannya.

Dia kemudian menunjukan sebuah layar ponselnya didepan mataku. "Ini kita. Ibu, Novi, dan kamu, Desi."

Tiga perempuan berfose ceria di depan danau. Semuanya memiliki karakteristik wajah yang sama. Ada satu wajah lagi, bukan bagian dari foto tersebut. Itu pantulan wajahku namun bukan wajahku melainkan wajah salah satu perempuan yang rambutnya pendek sebahu.

Otakku dan seluruh darahku terasa terbakar. Kutepis ponsel itu dari tangan si ibu asing.

Aku menjerit bukan dengan suaraku sendiri.

-Bersambung
-----------------------------------

Yess! Cerita pertamaku di wattpad.

Aku harap kalian menikmati ceritanya.

Mohon divote ya! buat memotivasi si penulis amatiran ini.

Tanggapan, kritik dan sarannya ditunggu, ok!

Hidupmu HidupkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang