Carter melangkah perlahan. Kakinya menapak dedaunan kering dan ranting hingga patah terinjak sepatunya. Dia berjalan di atas trotoar dengan ragu, mondar-mandir di tempat yang sama.
Malam begitu sunyi dan dingin. Bulan bersinar redup karena ada awan yang menghalangi. Satu-satunya cahaya yang ada dalam kendalinya saat ini hanya sebuah senter kecil.
Carter tahu dia sudah semestinya terbiasa dengan situasi ini. Dia sudah melakukan ini berulang kali sepanjang karir bodohnya sebagai remaja sok hebat, tapi dia tidak bisa membohongi diri. Ini sama seperti kali pertama dia melakukannya.
Jantungnya berdebar hebat di dalam sangkar iganya. Bulu kuduknya tak berhenti meremang. Dia sendirian. Harusnya dia mengajak seseorang, entah itu kakak laki-lakinya yang maniak permainan PC atau temannya, John, yang selalu paranoid pada semua hal.
Sebenarnya ada satu orang yang mau diajak, tapi sudah jelas itu tidak mungkin karena dia adik perempuannya yang masih 5 tahun.
Masa bodoh dengan makhluk halus. Aku bisa sendiri, batinnya.
Entah sejak kapan kakinya berhenti jadi setrikaan, yang pasti Carter sudah tiba di depan sebuah rumah tua di ujung jalan kompleks perumahan tempat ia tinggal.
Gerbang besinya sudah berkarat dan dililiti batang tanaman rambat. Walau rumah itu sudah kosong puluhan tahun lalu, gerbang itu masih saja digembok.
Carter mengamati jeruji di depannya. Gerbang ini bisa dia panjat, hanya saja butuh sedikit kemujuran untuk bisa mendarat di sisi dalam dengan selamat. Tingginya saja sudah 30 kaki.
Carter menoleh ke belakang. Tidak ada orang di manapun. Kabut putih tipis muncul dari permukaan jalan, berjelanak layaknya asap es kering dalam pertunjukkan panggung. Lampu jalan bersinar redup. Kelelawar sesekali terbang melewati sinarnya entah itu saat membumbung atau menukik.
Kendati dia sudah mulai takut karena sendirian saja dari tadi, sekarang dia tidak khawatir. Malahan dia merasa beruntung karena tidak ada siapapun yang akan memergokinya seperti maling.
Carter melihat arlojinya. Hampir tengah malam. Setidaknya dia bisa bergadang dengan caranya sendiri. Dia tidak bisa dibilang menyelinap keluar rumah sebab orang tuanya sedang keluar kota untuk urusan pekerjaan selama beberapa hari.
Carter kembali mengamati gerbang di depannya. Tangannya mulai membolak balik gembok untuk meyakinkan diri bahwa dia sudah semestinya punya cara lain selain memanjat. Sayangnya memang itu satu-satunya cara.
Carter menggigit senternya. Tangannya mulai menggenggam jeruji besi dingin itu dengan erat. Ada serbuk karat kemerahan menempel di telapak tangannya. Dia tidak peduli. Sekarang kakinya mulai menapaki bagian yang melintang sebagai pijakan.
Dia harus cepat. Masuk sebagai kelebatan dan keluar sebelum tertangkap basah. Carter terlalu gemetaran karena ketakutannya yang membuncah. Dia risau akan berjumpa hantu sebelum masuk atau dipergoki manusia saat masih setengah jalan memanjat.
Tenang Carter. Ini di ujung jalan. Kau bisa lihat rumah dari sini. Dia meyakinkan diri dalam hati.
Gerbang itu dipuncaki ujung besi yang dibentuk melancip hingga jadi mirip mata tombak. Kalau dia tidak berhati-hati, bukan hanya sweater kelabu kesukaannya saja yang terkoyak. Dagingnyapun bisa tembus.
Carter sudah berhasil melewati bagian sulit itu walaupun tudung sweaternya sempat tersangkut dan nyaris koyak di ujung runcing itu. Sekarang dia sudah berada di sisi dalam, masih dalam posisi berpegangan pada gerbang.
Carter memilih melompat untuk mempersingkat waktu. Di bawahnya hanya ada jalan setapak berbatu yang ditimbun dedaunan kering. Menurutnya itu tidak akan berbahaya jika melompat dari ketinggian 20 kaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Charlie, Charlie, Can We Play?"
HorrorBukannya kelihatan berani, Carter malah tampak terlalu bodoh sebab mau menghadapi hal-hal berbau supranatural. Seakan bisa jadi hobi, dia terus melakukan hal menakutkan yang tidak akan mau dilakukan oleh orang waras, termasuk yang satu ini. Suatu ma...