"Nih, tangkap!" sergah Carter ketika melempar sesuatu ke arah seorang laki-laki yang ada di seberangnya.
Walau agak kaget dengan lemparan itu, anak itu berhasil menyambutnya. Begitu sampai dalam genggamannya, dia sadar itu sebuah kamera saku.
Carter baru saja menyandarkan cello-nya di depan kursi yang tadi dia duduki. Ya, dia sedang berada di aula tempat kelas musik baru saja selesai.
Ruang ini putih, tidak punya peredam suara namun sangat luas. Cukup besar untuk menampung pasukan orkestra lengkap dengan kelompok paduan suara.
Walaupun dia sudah tiga tahun terakhir ikut kelas musik, Carter sadar dia belum mahir. Lengan dan pundaknya letih walau memainkan cello sambil duduk. Lehernya yang kaku terasa sekeras papan. Alat musik yang bahkan besar dan tingginya hampir menyamai tubuhnya itu sudah membunuhnya satu semester ini.
Carter melangkah ke meja terdekat, tak jauh dari jendela tak bertirai yang menyeruakkan banjiran cahaya matahari. Seperti kebiasaannya yang ingin tampil keren, dia mendaratkan bokong di atas meja itu. Menurutnya, cowok yang duduk di atas meja--atas satu alasan yang tidak bisa Carter jelaskan--terlihat lebih memikat.
"Kau melakukannya?" tanya anak itu kaget bercampur terpukau.
Anak laki-laki ini namanya John--yang dipanggil si Lembek oleh Carter. Tubuhnya gempal walaupun makan bukanlah hobinya. Meski gempal, dia terhitung tinggi dari remaja lain yang seumuran. Kepalanya ditumbuhi rambut merah keriting yang mirip pasta fusilli disiram saus bolognese. Dengan wajahnya yang seperti bayi--pipi tembam kemerahan, hidung kecil dan bibir tipis--dia tidak benar-benar terlihat bongsor.
John menaruh flute-nya di atas meja tempat deretan lempeng-lempeng xilofon disusun di sebelahnya.
Tangannya mulai sibuk mengutak-atik setiap tombol di kamera. Carter melihat keantusiasan yang sedikit berlebihan di wajah temannya itu.
Sebelum sempat membuka file foto yang Carter ambil semalam, seseorang merampas paksa kameranya dari balik punggung John.
John memang langsung melepas kamera itu. Dia terpaku dengan memepertahankan posisi tangannya yang tadi sudah bersiap menekan- nekan tombol. John memutar mata dan mendenguskan napas.
"Ayolah, Siley!" geram John.
Setelah cukup puas menopang udara kosong dengan tangannya, John berbalik menghadapi anak perempuan itu.
Anak perempuan yang dipanggil Siley oleh John itu hanya menyunggingkan senyum jail. Cewek ini cantik, setidaknya itu menurut Carter. Dia punya rambut hitam bergelombang yang selalu tergerai atau dikuncir, dan mata coklat gelap yang terlihat berbinar. Selain itu, dia punya lesung pipi yang muncul tiap kali tersenyum.
Siley membolak balik kamera di tangannya seolah sedang memepertimbangkan mana yang harusnya bagian depan dan mana yang belakang. Dahinya mengkerut kebingungan. Mungkin dugaan Carter benar--Siley tidak pernah menyentuh kamera saku.
Siley ikut menarik kursi. Ia memosisikan diri di sebelah John seolah menantang laki-laki itu merebut lagi kameranya kalau berani.
Carter tidak menanggapi. Matanya menatap nanar ke luar jendela. Dia terus membidik segala hal di luar sana dengan pikiran yang melayang entah kemana. Ada sesuatu yang mengganggunya sejak semalam--bukan secara harfiah karena ada kontak dengan makhlus halus penghuni rumah itu.
Carter tidak menggubris dua temannya ini yang mulai memanggil namanya karena minta pembelaan. Terserah mereka akan melakukan aksi cakaran kucing atau main kucing dan tikus, walaupun itu sangat tidak mungkin.
"Siley, aku duluan," ujar John sambil menahan kekesalannya.
"Cewek lebih dulu," balas Siley mantap, "kau harusnya tahu itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
"Charlie, Charlie, Can We Play?"
HorrorBukannya kelihatan berani, Carter malah tampak terlalu bodoh sebab mau menghadapi hal-hal berbau supranatural. Seakan bisa jadi hobi, dia terus melakukan hal menakutkan yang tidak akan mau dilakukan oleh orang waras, termasuk yang satu ini. Suatu ma...