[4] JOHN

369 34 36
                                    

John menyimpulkan satu hal penting kali ini. Mau tahu siapa sahabatmu? Coba lihat apa mereka mau menunggu kalau kau si gemuk yang tidak kuat lari.

John sudah tiba di depan pintu kelas. Napasnya masih terengah-engah karena harus lari turun tangga dari lantai empat. Kalau ada alasan untuknya mati sekarang, terlalu lelah tidak akan jadi sebab konyol.

Bulir keringat muncul di permukaan kulitnya. John sudah bersimbah seperti habis mandi. Alih-alih wangi, dia malah berbau masam.

John menundukkan kepala sedang tangannya menumpu pada lutut. Dia di depan kelas, dua langkah lagi dia bisa langsung masuk, tapi dia tidak melakukannya.

John sudah memutuskan. Kalau dia sampai mati sekarang, dia akan dan harus menjelma jadi hantu, kemudian bergentayangan. Orang pertama dalam daftar korbannya adalah Carter.

John merasa sendi dan ototnya panas, seiring dengan keringat yang semakin banyak keluar lewat pori-pori kulitnya. Dia mengangkat kepalanya dan menghadapi daun pintu yang masih tertutup.

Tangannya yang seakan mati rasa meraih knop pintu dan menekannya ke bawah. Langkahnya terserok ketika harus mendorong daun pintu.

Sebenarnya John agak risau dengan kelasnya yang satu ini. Bukan hanya karena kemungkinannya dia sudah mendorong pintu selagi pelajaran berlangsung, tapi juga karena gurunya yang sangat suka tata krama ala abad pertengahan.

John mendorong daun pintu perlahan. Matanya sudah bisa melihat sedikit keadaan kelas melalui celah yang terbuka.

Matanya menangkap beberapa anak cowok yang masih tertawa sambil melemparkan bola kertas ke berbagai arah, beberapa cewek yang duduk berkelompok sambil cekikikan dan Carter yang--sekali lagi--duduk di atas meja.

Dia beruntung. John menghela napas dan membuka pintu selebar mungkin untuk tubuhnya. Keadaan kelas "tanpa tata krama" yang dilihatnya barusan cukup mengindikasikan bahwa tidak ada yang patut disegani sedang berdiri di depan kelas.

Begitu membuka pintu, kelas diam sambil menoleh. John melambai lemah seakan coba bilang, "hai, namaku 'aku mau mati'. Oh, ya, kalian sudah tahu aliasku 'kan? Si John Bern."

Setelah yakin bahwa yang mereka lihat adalah John, beberapa mulai mencemoohnya karena berlagak hebat bisa tiba-tiba masuk dan mengejutkan mereka. John mengedikkan dagu menantang.

John tidak peduli. Ini kelasnya. Untuk apa dia permisi kalau isinya bukan "orang".

Carter dan Siley melihat ke arahnya. Mereka berjalan menghampiri John yang masih berdiri di ambang pintu.

"Kukira kau tidak akan sampai lagi," kata Carter.

"Dan kukira kau tidak ingat aku masih bisa dibunuh," tukas John, "Aku masih hidup, Bung. Dan kalian langsung lari. Yey."

John mengalihkan pandangannya dari Carter dan Siley. Kelas sangat berantakan, mirip kapal pecah. Kertas berserakan di lantai, dalam bentuk bola, potongan kecil confetti, sobekan besar dan bulatan kecil. Meja dan kursi tidak lagi tersusun rapi. Seisi kelas bahkan tidak repot-repot untuk peduli keadaan ruangan.

John menoleh pada jam dinding di tembok belakang. Terlambat sepuluh menit.

Ini tidak biasa. Bu Mia bukan orang yang bisa masuk terlambat. John pernah mendapati gurunya itu malah berdiri di depan pintu kelas setengah jam sebelum bel masuk. Bukan tidak mungkin wanita itu akan membuat tenda agar bisa mengajar tepat waktu.

"Enak saja kalian berleha-leha duluan," ujar John, "dan pesta macam apapun ini--ah--sudahlah."

Carter menaikkan sebelah alisnya. "Ayolah. Waktunya diet, Sobat."

"Charlie, Charlie, Can We Play?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang