Sebelumnya, Siley tidak pernah kalang kabut demi menyambangi suara sumbang 8 oktaf yang bisa membuat gendang telinga siapa pun mengendur, tapi dua sahabat cowoknya membuat dirinya harus mau bertarung dengan daya tahannya sendiri.
Siley berjanji pada dirinya untuk menghajar kedua anak itu dengat pengejut listrik--kalau saja mereka tidak dihajar lebih dulu oleh hantu Charlie. Dia hanya tidak ingin Carter dan John sekali lagi terlibat dalam ranah berbahaya ini setelah semuanya berakhir. Entah apa yang sedang diperbuat Charlie terhadap mereka, seharusnya itu cukup untuk memberi efek jera.
Dia memacu langkahnya mulai keluar dari kamar Iris hingga melintasi halaman dengan cepat dan lincah, seperti seekor tupai yang melompat-lompat di antara dahan pohon. Siley sampai meninggalkan Iris jauh di belakang.
Siley akhirnya berdiri di depan gerbang rumah tua itu. Sambil menatap nanar pemandangan di hadapannya, otak Siley mulai berpikir jalan masuk paling efisien selain memanjat pagar.
"Siley!" panggil Iris.
Siley baru menoleh beberapa detik kemudian, mendapati Iris baru tiba di sisinya dengan napas memburu.
Beberapa hari terakhir, Iris tidak pernah tampak baik dalam menampilkan raut wajah selain ketakutan dan kecanggungan ala anak baru, sehingga bisa membuat guru seni mendepaknya keluar dari kelompok drama. Namun, kali ini terlihat jelas dia mengerahkan seluruh upaya untuk tidak menampakkan ekspresi khawatir.
"Carter dan John. Apa mereka memang selalu sengotot ini?" tanya Iris dengan satu-satunya kalimat sarkastik yang pernah Siley dengar dari gadis itu. "Mereka punya kecenderungan besar mengganggu ketenangan Charlie."
Siley mengangguk, tapi dia sadar membahas kebodohan dua sahabatnya sekarang bukanlah pilihan tepat. "Setan yang kausebut tadi," Siley mengingatkan. "Apa dia berbahaya?"
Iris mendesah. "Setan pada dasarnya adalah sifat pengganggu. Pada golongan jin, setan melambangkan kesesatan. Seharusnya itu cukup mudah baginya untuk membahayakan manusia."
Terdengar seperti kabar buruk bagi Siley. Kabar yang teramat buruk.
Begitu mendengarnya, Siley tidak punya pilihan lain selain mengambil jalan paling pintas.
Dalam satu gerakan, maskulinitasnya berhasil baik dalam memacu usahanya memanjat pagar. Untungnya, pakaian yang dia gunakan hari itu cukup potensial untuk mendukungnya melakukan serangkaian gerakan akrobatik. Dia tidak begitu ingat dari mana belajar semua manuver itu--yang pada keadaan normal akan membuat seluruh otot kakinya mengejang. Tapi Siley patut berterima kasih pada tubuh kurusnya yang mudah diajak bergerak lincah.
Dalam beberapa menit, Siley tiba di halaman rumah itu. Dia terlambat menyadari ada lebih banyak alasan baginya untuk memanjat balik begitu menyebarkan pandang ke sekitarnya. Rumah kosong ini tampak seperti rumah tua biasa dari balik gerbang, tapi apa yang dia lihat saat ini adalah sisi dalamnya.
Halaman itu tidak bisa disebut sebuah halaman hanya karena dia berupa tanah lapang yang berada di muka rumah. Untuk kategori wajah hunian yang nyaman, tempat itu tidak bisa mengenyahkan bayangan Siley tentang area pemakaman. Semua benda yang ada di sana, dia sudah pernah melihatnya dari foto yang diambil Carter beberapa malam yang lalu. Kali ini Siley memandangnya tanpa pembatas, tanpa pengecilan ukuran, tanpa sinar yang menyilaukan, dan terutama tanpa Carter yang bertelanjang dada. Meskipun matahari masih terik, pemandangan langsung di hadapannya bagaimanapun juga terasa memabukkan.
Siley merasa udara terbelah secara misterius di sekitar gerbang masuk, memisahkan antara matahari musim panas yang cerah dengan angin awal musim gugur yang mencekam. Berada di dalam teritori yang dingin membuat bulu kuduknya semakin meremang tanpa terkendali.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Charlie, Charlie, Can We Play?"
TerrorBukannya kelihatan berani, Carter malah tampak terlalu bodoh sebab mau menghadapi hal-hal berbau supranatural. Seakan bisa jadi hobi, dia terus melakukan hal menakutkan yang tidak akan mau dilakukan oleh orang waras, termasuk yang satu ini. Suatu ma...