Siley sebenarnya jarang ke tempat ini. Dia tidak suka pemandangan jejeran rak berisi buku-buku tebal, memenuhi ruang ini dengan segala macam hal berbau pengetahuan. Perpustakaan. Tempat terkutuk bagi para ponsel maniak dan surga untuk kutu buku.
Siley hanya mengekor di belakang Iris. Cewek itu sedang mencari buku di rak berlabel sejarah. Rak dijejali deretan buku-buku usang yang halamannya sudah banyak lepas. Beberapa buku baru tidak kelihatan lebih baik.
Siley ikut memilih. Setelah mengambil yang paling tipis di antara semuanya, dia jadi malas membukanya karena halamannya keras dan kertasnya pun kaku saking jarangnya dibuka. Pasti tidak banyak yang tertarik ke deretan ini.
Kalau bukan karena suasana klasik di sini, Siley pasti lebih memilih lari tunggang langgang. Dia bisa saja suka melihat keadaan serba tua di sekelilingnya. Buku-buku ini rasanya hanya bisa dilihat di film.
Tangannya meraih satu buku lagu yang kelihantannya menarik. Judulnya 'Perang Dunia: Kisah Kelam Sepanjang Masa.'
Siley mengernyitkan dahi. Sampul bukunya bergambar foto sepia dengan objek barisan tentara, sedikit double exposure dengan tank dan pesawat tempur.
Siley membalik-balik halamannya. Setelah melihatnya sekilas, dia cepat-cepat meletakkan kembali buku itu di rak, di antara dua buku berjudul sama. Isinya hanya tulisan dan foto buram yang memusingkan. Terlambat satu detik, dia bakal pingsan.
Iris di sampingnya sudah menggendong tiga buku yang ia tumpuk di salah satu lengan. Seolah belum cukup, dia masih melihat-lihat sambil terus menggumamkan judulnya.
"Hei, Iris," panggil Siley sekedar untuk mengatasi rasa bosannya yang tak tahu mau berbuat apa. "Kenapa kau lihat buku di sini? Lebih enak baca novel."
Iris belum menjawab. Dia kelihatan masih sibuk memilih buku. Kendatipun Iris belum menjawab atau sekedar menanggapi pertanyaannya, Siley tahu gadis ini sedang mencoba menyusun jawaban.
Sembari menunggu Iris menjawab, Siley menarik keluar satu buku lainnya. Agak terlalu susah ditarik sebab sepertinya buku itu dipaksa muat. Ukurannyapun terbilang besar dan tebal dengan sampul sekeras papan tripleks.
Membayangkan papan tripleks membuat Siley jadi ingat papan Ouija. Siley setengah berharap Carter tidak jadi meminjam uangnya. Dia merasa tidak enak jika tidak meminjamkannya, namun ia juga bakal menyesal kalau sampai uangnya dihabiskan hanya untuk papan hantu itu.
"Aku memang suka novel," jawab Iris "tapi aku punya sedikit pekerjaan."
Siley membalik halaman per halaman buku itu. Dia mulai bertanya-tanya apa memang buku sejarah harus berisi tulisan semua.
Tidak ada sedikit hal yang bisa memperbaiki cara penyajian yang tidak menarik ini? Batin Siley.
Siley meletakkan buku itu kembali. Itu buku kesekian yang dibuka dan diletakkan kembali dengan segera.
"Pekerjaan? Dengan buku sejarah ini?" Tanya Siley dengan dahi berkerut memandangi barisan buku tertinggi yang terletak lebih tinggi lima belas inchi dari kepalanya.
Dia menyapu debu yang lengket di tangannya ke atas rompi, meninggalkan jejak kotor yang membuat rompinya kelihatan buruk. Siley jadi harus menepuknya lagi walaupun tidak ada jaminan bakal bersih.
Iris mengangguk. Dia langsung keluar dari gang dan berjalan menuju meja baca, meninggalkan Siley seperti ia meninggalkan buku-buku yang tidak ia butuhkan.
Iris membawa tiga buku. Siley tidak yakin apa judulnya atau bagaimana garis besar isinya. Yang terpenting baginya adalah bagaimana dia bisa terus menjaga ekspresi bosannya agar tidak keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Charlie, Charlie, Can We Play?"
HororBukannya kelihatan berani, Carter malah tampak terlalu bodoh sebab mau menghadapi hal-hal berbau supranatural. Seakan bisa jadi hobi, dia terus melakukan hal menakutkan yang tidak akan mau dilakukan oleh orang waras, termasuk yang satu ini. Suatu ma...