Chapter 1 : Small Animal

643 26 13
                                    

BARANGKALI karena hawa dingin yang tak mau minggat dari kamar-kamar sempit yang dinaungi perabotan berdebu. Entah apa karena nihilnya keberadaan manusia di jam-jam seperti itu. Mungkin lantaran musim dingin yang masih akan berlanjut sampai november, sampai desember, sampai tahun depan.

Gray tidak pernah betah berada di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada hiburan di desanya selain bermain bersama beberapa anak seumurannya yang hanya bisa dihitung jari. Di desa ini tidak ada gedung besar, panggung megah, raya wisata, tempat yang bisa dikunjungi dan dapat menarik perhatian seperti yang dipertontonkan buku-buku usangnya. Ada satu monumen besar berupa jam raksasa yang mencuat di tengah alun-alun, namun jarum jam panjangnya telah berhenti bekerja sejak jaman kakaknya masih belajar membaca. Hal semacam pusat rekreasional dimana banyak orang datang sekedar untuk membuang waktu dan bersenang-senang tak bisa ditemukan di desa pinggiran seperti ini.

Jadilah Gray  kecil sering menyusup dari sela tanah di bawah pagar kawat yang telah hilang sebagian kawatnya. Tak seperti rumah kecilnya yang gelap atau desanya yang membosankan, hutan selalu jadi tempat yang menyenangkan baginya. Dari sela-sela pohon dan rerumputan tampak pemandangan yang istimewa, tampak hewan-hewan berkeliaran seperti kebun binatang karya buku gambar favoritnya. Hutan ini seperti kebun binatang dalam buku gambar tersebut. Ada rusa yang buduk kulitnya dan hampir menyerupai kambing liar. Ada keluarga kelinci yang diam-diam membuat sarang di dekat akar pohon dan semak yang lembab, konser para burung di dahan pohon yang kaya akan siraman matahari, seekor beruang tua yang kadang terlihat minum di tepi sungai, namun sudah tak pernah lagi terlihat sejak September.

Di pikir lagi, desa tempatnya tinggal pun tak ubahnya kebun binatang.

Ada pria kurus mirip belalang sembah yang ia kira menderita penyakit kurang makan stadium 4. Ada juga juragan beras yang perutnya membuncah seperti katak, kerjaannya terang-terangan menafsui bebek-bebek  muda yang berlalu lalang. Tidak ada malunya. Ada kura-kura uzur yang selalu membanggakan masa mudanya yang gagah dan gemilang, namun tiap kali batuk rasanya nyawanya seperti mau ikut copot. Ada serigala liar yang sering berbuat onar jika udara mulai mampu memberi warna pada hembusan nafas. Anjing penjaga akan segera menangkap dan mengurungnya di kandang, memberinya tempat bernaung dan makanan hangat untuk melewati tahun, untuk kemudian dilepas lagi.  Ada rubah betina yang berjualan parfum racik di pinggir desa. Konon, ia merantau ke tempat ini karena dianggap tak mampu lagi bersaing dengan betina lain, betina yang jauh lebih muda dan liar. Begitulah kehidupan di desa ini. Beberapa dari mereka hanya seekor saja, satu dari jenisnya, pejantan lapuk atau betina buangan.

Tak jauh dari hutan, ada tambang yang dirayapi puluhan pekerja tua. Yang muda rata-rata tak sudi kerja di sana. Mereka mengepung dan mengorek isi bumi demi meraup batu bara. Hasil tambang dibawa dengan armada kereta kuda sebelum musim dingin mulai menggelegak. Uang hasil penjualannya menjadi  alasan mengapa pagar kawat di desa masih berdiri tegap. Sayang akhir-akhir ini jumlah pekerjanya mulai lesu. Dua musim dingin mendatang, bisa jadi ia pun akan ikut mengerumuni tempat itu.

Bekerja di luar desa bukan pilihan. Sejak kecil, di beberapa malam, kakaknya akan pulang larut. Ia akan merangsek ke ranjang tempatnya tidur, kemudian memeluk adik laki-laki semata wayangnya sambil terisak. Kakaknya yang selalu tegar dan ceria berubah jadi hewan kecil rapuh seakaan hendak dimangsa. Jika Gray terbangun, kakaknya akan menyambut dengan senyum hangat sambil mengusap rambut pendek awut-awutannya. Begitulah mereka melalui malam sejak menyandang status yatim piatu. Kakaknya yang kuat dan tegar menolak dikirim ke tempat anak lain yang bernasib sama. Alhasil mereka tinggal berdua di rumah kecil yang raib presensi orang dewasa. Menanggung beban hidup untuk dua orang agaknya terlalu berat untuk seorang anak perempuan berumur enam belas tahun yang bercita-cita menjadi dokter. Tiap malam mereka hanya makan sayur kusam dari belas kasih tetangga, namun Gray tak pernah mengeluh. Ia tak akan pernah mengeluh.

Seekor kelinci gemuk melompat lincah di antara semak yang basah sembari memperhatikan sekeliling dengan telinga panjangnya. Pisau lempar Gray tanpa ampun menancap tubuh makhluk malang itu. Malam pertama ia mendengar suara tangis di punggungnya, kala itulah ia bertekad untuk selalu jadi penopang hidup saudarinya. Di desa yang penuh akan hewan kecil ini.


Red EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang