Tubuh rampingnya yang terbalut selimut adalah pemandangan pertama di mata saat kesadaranku akhirnya diketuk cahaya matahari pagi. Wajah dan lenganku bersandar pada ranjang, namun tubuhku tidak. Sepertinya aku tertidur semalaman setelah berbicara dengan kakak. Kuperhatikan seksama wajah tidurnya yang damai seraya menyentuh keningnya dengan bagian belakang pergelangan tangan. Suhunya normal, demamnya sudah hilang. Aku agak terkejut bagaimana ia bisa sembuh secepat ini, padahal kemarin tubuhnya sepanas tungku air mendidih. Apa perawatan dari kakak yang memang sangat manjur, atau..
Aku berjalan keluar dari kamar. Menyadari matahari sudah cukup tinggi, kakiku melangkah malas di atas lantai kayu yang dingin, mencari kakakku untuk minta penjelasan kenapa ia membiarkanku kesiangan. Tidak ada siapa-siapa. Yang kudapati hanya makanan yang sudah siap santap, beberapa macam buah-buahan, nasi untuk porsi dua orang, beserta roti dan daging kelinci tak berbentuk yang tersaji di meja makan kecil kami. Melihat semua itu, perutku sadar akan keadaannya. Aku tak sempat makan setelah pulang berburu, dan daging bertulang remuk ini pastilah bantalan penyelamat nyawaku dan gadis itu dalam aksi keluar dari hutan kami, kemarin.
Suara derit pintu terdengar tak jauh di belakang. Aku menoleh dan mendapati Gadis bermata merah itu sedang berdiri di ambangnya. Dengan mata yang masih setengah terbuka, ia menatap ke arahku. Kembali kulihat bola mata berwarna merah itu, seakan seluruh kejadian kemarin hanya mimpi aneh dan menyakitkan. Posturku berubah tegap. Meski sekilas terlihat lemah dan rapuh, warna mata yang biasa kulihat di buku-buku dan dokumentasi itu membuat pikiranku mencari pada ratusan skenario dan kemungkinan, bahwa gadis ini mungkin saja jauh lebih berhaya dari penampilannya.
Tubuhnya lunglai dan bersandar di dinding kayu. Seketika, perutnya menyuarakan pinta untuk diisi. Kedua tangan gadis itu sontak menyilang bagian tubuh tak sopan itu. Kembali wajahnya merona merah seperti kemarin. Aku terbatuk, sebisa mungkin menahan tawa; hancur sudah siagaku.
Kusodorkan sepiring roti dan daging kelinci padanya,"Mau makan?" tanyaku sambil tersenyum.
Ia melirik piring yang kusodorkan, lalu mengangguk pelan.
"Namaku Gray." Keempat kalinya ia melirik ke arahku, kuputuskan untuk memperkenalkan diri.
Gadis itu tak menjawab. Ia memalingkan pandangan kembali pada piring makannya.
"Makanannya enak?" Aku mencoba memulai percakapan.
Jawabannya kali ini adalah anggukan singkat. Ia berhenti sesaat, kemudian lanjut mengunyah makanannya dengan mulut rapat tertutup dan nihil suara. Sungguh cara makan yang anggun. Tunggu, kenapa aku malah kagum pada hal kecil seperti itu. Situasi makan yang terlalu absurd, berbeda dengan suasana ditemani obrolan kecil dengan kakakku, jauh bertolak belakang dengan koar petualang Bruno. Hanya suara sendok mencium piring yang bisa ku dengar darinya. Sesekali ia melirikku saat sedang makan, namun begitu kuajak bicara, ia berpaling.
"Ingin memberi tahu namamu?"
Ia tidak bereaksi terhadap pertanyaanku yang kesekian. Aku menyerah.
Usai semua itu, aku membereskan meja tempat kami makan, mencucinya lalu berjalan ke kamarku. Kuambil kotak kecil yang kemarin diperlihatkan kakakku, lalu menyerahkannya pada gadis itu. Dia menerimanya begitu saja tanpa bertanya.
"Mau ikut menghirup udara segar? Aku bisa mengajakmu berkeliling."
Gadis itu menggeleng cepat. Aku lalu menunjuk kotak kecil yang masih tertutup di kedua tangannya, "Hadiah dari kakakku. Coba dibuka."
Ia mengambil kotak itu dan mengeluarkan isinya. Sepasang Lensa kontak berwarna hitam.
"Bisa timbul masalah kalau orang-orang melihat warna matamu, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Eyes
AdventurePertemuan Gray dengan seorang gadis bermata merah mengantarnya pada petualangan mendebarkan yang telah diimpikannya sejak masa kecil. Petualangan yang juga membuatnya harus meninggalkan orang-orang terdekatnya.