Six - Jadi?

1.9K 246 12
                                    

       Dari pelajaran setelah istirahat, (Namakamu) memang terlihat sangat resah. Dengan gerak-geriknya yang aneh, semacam menggigit ujung bolpoint, menggaruk kepala, mengutak-atik handphone yang sepi, sampai menarik-narik rambutnya bak orang dilanda frustasi. Iqbaal yang melihat pemandangan ini tentunya sangat risih dan aktifitas belajarnya tidak bisa berkonsentrasi.

       "(Namakamu), lo kenapa?" tanya Iqbaal pelan dan sedikit berbisik. Bahkan Iqbaal takut apabila perubahan sikap gadis ini adalah karena perbuatannya tempo hari, dengan berani menciumnya.

       (Namakamu) tersadar dari aktifitasnya yang awut-awutan. Ia menatap Iqbaal yang masih terpaut dengannya lewat mata.

       "Lo ada masalah?" tanya Iqbaal lagi.

       (Namakamu) menggeleng. "Ngga ada. Tapi kayaknya gue kena teror deh."

       Iqbaal membelalakkan matanya. Bagaimana mungkin, jaman sudah semaju ini masih ada saja teror-meneror orang. Apakah masih sama dengan teroran orang jaman dahulu? "Teror gimana sih maksud lo?" Iqbaal masih belum paham.

       Beberapa saat kemudian, suasana kelas berubah gaduh, dan kebanyakan siswa bersorak-sorai. Iqbaal dan (Namakamu) rupanya ketinggalan berita bahwa guru pelajaran Matematika itu ada tugas pertemuan penting dengan Waka Sarga yang menyangkut masalah sarana dan prasana di sekolah. Dua jam pelajaran terakhirpun kosong dan hanya diberi tugas.

       "Nah, aji mumpung nih. Kita jamkos, mending nyari tempat yang enak buat bincang-bincang. Okey?" Iqbaal bangkit dari bangkunya.

       (Namakamu) ikut bangkit dan berjalan di belakang badan Iqbaal. Kemudian mereka melenggang pergi meninggalkan kelas.

       Koridor demi koridor kelas terlihat sepi dan hanya beberapa siswa dari beberapa kelas yang tengah duduk-duduk santai di sana. Mungkin sama seperti nasib kelasnya, jam kosong. Jadi, (Namakamu) dan Iqbaal tak harus susah payah memasang wajah sok cuek untuk tidak mendengarkan ocehan-ocehan iri dari orang-orang yang tidak mampu berteman dengan Iqbaal maupun orang-orang yang memang membenci (Namakamu).

       (Namakamu) bingung saat mendapati Iqbaal membawanya ke ruang olahraga. Seumur hidupnya di sekolahan ini tidak pernah memasuki ruang olahraga yang tempatnya di bawah tangga ini. (Namakamu) masih terdiam di ambang pintu.

       "Hey sini. Ngapain di situ terus? Mau nanggung jawab buat pertanyaan guru yang kepo kenapa lo ngga masuk ke kelas?" celoteh Iqbaal.

       Mau tak mau, (Namakamu) memasuki ruangan olahraga yang terbilang sempit dan tak terawat. Namun di dalam sini masih ada meja dan beberapa kursinya. Beberapa barang untuk olahraga juga tertata rapi, namun tempat yang sempit ini membuatnya terlihat tidak terawat dan berantakan.

       "Suka main catur?" tanya Iqbaal kemudian.

       (Namakamu) duduk di hadapan Iqbaal, seakan mereka sudah siap untuk memulai pertandingan catur mereka. Kemudian ia menggeleng saat mengingat bahwa Iqbaal melemparkan pertanyaan ke padanya. Ia tidak suka main catur, tapi ia bisa. Kadang, ia juga menemani bapak-bapak di pos ronda main catur sampai tengah malam saat malam minggu.

       Beberapa kali nongkrong di pos ronda membuat (Namakamu) tahu suka dukanya menjaga keamanan wilayah walaupun perumahannya ada satpam yang berjaga. Namun untuk bagian wilayah (Namakamu) yang agak jauh dari pantauan satpam, tentunya membuat perasaan was-was. Dan diadakannya pos kampling ini agar menjaga kerukunan antara pengguna perumahan yang notabenenya cuek dengan tetangga.

       Namun berbeda dengan penghuni rumah blok A10 sampai blok B20. Mereka saling mengenal dan guyub rukun, karena mereka memang sudah hampir 10 tahun lebih menjadi penetap di rumah masing-masing. Berbeda dengan beberapa orang baru yang terlihat tertutup.

3. Teman Semeja • IDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang