Twelve - Curhatan Iqbaal (1)

617 64 7
                                    

Selamat malam! Aku kembali lagi nih, mumpung lagi mood😂

Latar, waktu, tempat, dan suasana dalam cerita ini hanyalah imajinasi. Jangan diambil hati, cukup dihayati dan ambil point pelajarannya☺

Be a smart readers, gengs!

• Teman Semeja •

(Namakamu) sedari tadi terdiam. Sejak saat Iqbaal mengantarnya pulang, menyuruh untuk ganti pakaian, dan begitu pula dengan yang dilakukan lelaki itu. Ia pulang dan berganti pakaian, sesudahnya mereka diijinkan untuk pergi berdua, dengan Iqbaal yang diperbolehkan membawa mobil milik bundanya. Selama di perjalanan pula, tiada yang berniat untuk membuka pembicaraan.

Dan (Namakamu) semakin terheran, saat mobil yang ditungganginya itu dihentikan oleh Iqbaal di sebuah rumah berukuran paling besar di kampung ini. Begitu, pengamatan (Namakamu) sejak mobil Iqbaal melintas melewati perkampungan di daerah Bandung. Perkampungan padat penduduk, namun hening dan jauh dari hikuk-pikuk keramaian kota seperti halnya di Jakarta.

Sepanjang mata memandang, mereka melihat pemandangan kebun teh, di kanan dan kiri jalan yang halus karena baru diaspal. Banyak orang yang hilir-mudik berjalan menggendong keranjang berisi daun teh, maupun orang-orang yang menggendong keranjang berisi sayur dan buah-buahan. Tak ayal, banyak yang menyapa Iqbaal, ketika membuka kaca jendela.

Iqbaal juga belum kunjung menjawab pertanyaan dari gadis yang ada di sisi kirinya. Namun, setibanya di halaman rumah besar itu, Iqbaal melemparkan senyum manisnya ke arah (Namakamu), dan mengajak gadis itu segera masuk. Karena udara di sini masih sangat dingin, terlebih lagi saat (Namakamu) hanya mengenakan kaus berbahan kain tipis.

"Ayo masuk. Nenekku sudah nunggu," ucap Iqbaal saat melihat keraguan dari wajah (Namakamu).

(Namakamu) hanya menuruti saja, ia mengikuti Iqbaal yang telah terlebih dahulu masuk ke rumah yang pintunya sedikit terbuka ini.

"Assalamualaikum,"

Beberapa detik dalam keheningan, suara gaduh terdengar dari bilik kamar yang masih sangat sederhana interiornya. Namun, tak menyurutkan kesan mewah rumah paling besar di kamung ini.

"Waalaikumsalam. Ya ampun, Ale? Kenapa ngga kabarin Nenek dulu atuh," wanita dengan rambut yang hampir memutih semua itu keluar dari kamar. Garis wajahnya tak jauh berbeda dengan wajah Rike—bunda Iqbaal.

Iqbaal berhambur memeluk wanita tua, yang telah dipastikan adalah neneknya itu. Mereka saling berpelukan cukup lama, sampai wanita tua itu meneteskan air matanya dengan deras. Mungkin, karena sangat rindu dengan cucunya.

"Nenek, aku bawa cewek kota yang cantik," Iqbaal meregangkan pelukannya bersama wanita tua itu. "Dia baik, pintar, dan sopan. Ngga jauh berbeda dengan teh Ody," tambahnya.

(Namakamu) tersenyum semanis mungkin, saat wanita tua itu juga tersenyum ke arahnya. Detik selanjutnya, ia dipeluk oleh wanita tua itu. Cukup lama juga, sampai akhirnya (Namakamu) mendapat kecupan di pipinya oleh nenek Iqbaal.

Iqbaal terkekeh. "Kenalkan, itu nenek aku. Nenek di sini tinggal bersama kakek. Tapi, jam segini biasanya kakek di kebun, sih."

"Kakekmu baru saja keluar. Habisnya, sejak tadi pagi kita panen kobis dan wortel," jelas nenek Iqbaal. "Ayo, duduk."

Detik selanjutnya, Iqbaal mengajak (Namakamu) duduk di kursi yang terbuat dari rotan dan bambu. Ia duduk di samping Iqbaal, sedangkan wanita tua itu ada di hadapan mereka.

"Siapa namamu, Neng?" tanya nenek Iqbaal.

(Namakamu) tersenyum. "(Namakamu), Nek."

Nenek Iqbaal manggut-manggut. "Kalian masih sekolah, kan?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

3. Teman Semeja • IDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang