William Digo Jafirus

3.3K 518 30
                                    

"Kau terpesona rupanya," ledek Digo tertawa. Sisi mencembikkan bibirnya, meraih setangkai beri hitam yang juga dimakan oleh Oris.

"Kau juga makan makanan kuda?"

"Diamlah dan habiskan ikanmu. Aku sudah tidak bernafsu," balas Sisi acuh. Digo terkikik memegangi perutnya. Dibukanya kembali baju khas Ronin yang ia kenakan dan menjemurnya di atas tubuh Oris yang masih asik menikmati makanannya.

"Digo Punggungmu!!" pekik Sisi saat ia melihat dua luka gores cukup dalam menganga menghiasi punggung Digo. Ronin tampan itu terhenyak, ia lupa bekas luka cambukannya pasti masih nampak mengerikan sekarang.

"Ahh, ini adalah luka yang aku dapat jika aku mengambil nyawa orang lain. Satu nyawa satu goresan," jawab Digo berbohong.

"Tapi kamu membunuh 4 Odes sekaligus," balas Sisi mengerutkan dahinya.

"Ahh Itu karna Odes bukan manusia. Jadi satu goresan bernilai dua nyawa Odes," ucap Digo tak berani menatap Sisi. Ia sudah berbohong besar-besaran.

"Ohh Kalau begitu raja Trusan yang satu ras denganmu memiliki beribu luka goresan seperti itu? Dia kan sudah membunuh ribuan nyawa," ucap Sisi polos.

"Kau akan kaget saat melihat wajah rajamu Sisi."

"Kenapa? Apa dia lebih menjijikkan dari Odes?"

"Kau penasaran? Ingin melihatnya lebih dekat?" Tawar Digo sangat menggiurkan.

Sudah sejak lama Sisi memimpikan bisa melihat kerajaan Trusan lebih dekat, meraup air mancur di pusat kotanya, atau sekedar berbelanja di pasar tradisional yang ada di sana.

"Aku tidak pernah diijinkan Abigail ke sana, bahkan jika hanya melewati garis perbatasannya. Ronin akan mengulitiku tanpa alasan, begitu katanya," balas Sisi lemah.

"Siapa Abigail? Kekasihmu?" Tanya Digo ingin tau.

"Kau pikir seorang gadis yang tinggal di pinggir hutan terlarang dengan ketiga kakak laki-lakinya akan memiliki kekasih? Kau sedang menyindirku?"

"Kenapa kamu sensitif sekali. Atau mungkin saja Abigail itu ayahnya Oris?"

"Digo!!! Abigail itu kakak pertamaku!" Sentak Sisi sebal, Digo tertawa menanggapinya.

"Aku kira Abigail masuk dalam nama kudamu." Canda Digo lagi. Sisi tak memperdulikannya, ia lebih sibuk meneliti dedaunan di hutan, membolak-baliknya tak sabar.

"Potonglah akar ini dengan pedangmu itu Tuan mengedip!" seru Sisi melambai pada Digo. Meski tak merasa dirinyalah yang dipanggil, Digo tetap berlari menghampiri Sisi.

"Kau pikir pedang istimewaku ini dibuat untuk menebas akar? Yang benar saja. Dia terbuat dari air mata pengrajinnya. Perlu bertapa 7 tahun untuk menghasilkan pedangku ini. Dan sekarang kau ingin aku menggunakannya untuk menebas akar?" Tanya Digo cerewet sekali.

"Cerewet!"

"Aku bukan cerewet tapi...." ucapan Digo terhenti karena Sisi telah dengan lancangnya mengambil pedang Digo dari dalam saku sarungnya, namun Sisi justru terlempar sangat jauh.

"SISI!!! kau tidak apa-apa?" Seru Digo berlari menghampiri gadis Archerynya.

"Arrgghhhh Sebenarnya apa yang ada di dalam pedangmu itu Digo!!!!" Geram Sisi berusaha bangun dibantu oleh Digo.

"Aku sudah bilang Nona, ini bukan sembarang pedang. Hanya aku yang bisa menyentuh dan menggunakannya. Bagi orang lain, pedang ini tidak akan ada gunanya."

"Pedang yang manja!" sungut Sisi mengusap sikunya yang memar.
Kemarilah. Kubantu kau memotong akar ini dengan pisau kecilku" balas Digo lembut. Sisi terpana, mulutnya menganga lebar dengan mimik wajah teramat kesal.

The Crown Prince's DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang