"Kita nggak bisa bersama lagi," ucap Gavi, suaranya terdengar lirih. Tangan yang sejak tadi memelukku erat, perlahan menjadi renggang.
Air mataku satu per satu lolos dan berjatuhan menapaki bumi. Kenapa? Kenapa Gavi harus mengatakan itu? Lima tahun sudah kami menjalin asmara lalu kenapa harus kandas begitu saja?
"Kenapa?" bisikku bertanya padanya. Matanya berkaca menatap ke arahku. Tangan kanan lelaki berwajah oriental itu menyentuh pipiku dan mengusapnya dengan lembut. Mataku terpejam menikmati sentuhannya.
"Kita berbeda...," jawabnya lesu.
"Kita memang beda, kan? Aku wanita dan kamu lelaki, apa aku harus menjadi lelaki terlebih dahulu, untuk bisa bersamamu?" balasku memasang raut wajah bingung.
"Ini tidak lucu, Ay." Lelaki bermata sipit itu memutar kedua bola matanya.
"Memang nggak lucu, kan? Siapa yang melucu? Aku tidak melucu," ucapku sambil memiringkan kepala, sehingga tangan yang sejak tadi menyentuhku terlepas.
Tangan kokoh itu meraih kepalaku dan menyenderkannya di dada bidang miliknya. "Kenapa kamu menggemaskan sekali sih, Ay?" ucapnya gemas sambil mengacak rambutku.
Kepalaku terangkat lalu tersenyum dan menatap ke arahnya. "Aku ingin kita terus bersama, Gav...." Air mataku kembali terjatuh kala mengucapkan kalimat tersebut.
"Aku juga ingin ... tapi takdir berkata lain, Ay," ucapnya sambil tersenyum pahit.
Aku menghela napas untuk mengeluarkan sesak yang bersarang di dadaku. Hatiku tak terima mendengar kalimat itu terucap, mengapa takdir seolah mempermainkanku?
"Kenapa kita harus mengikuti apa kata takdir? Ini cinta kita, Gav. Bukan cinta takdir. Bukankah kita masih bisa mengubah takdir itu?"
"Iya, Ay. Aku tahu, ini memang bukan cinta takdir, tapi bukan itu maksud aku," ucapnya sambil melepas pinggangku yang dipeluknya.
"Lalu apa?"
"Kita ini berbeda, Ay. Keyakinan kita berbeda, itu yang membuat kita harus berpisah...," jawabnya dengan suara pelan di akhir kalimat.
Aku terduduk di atas tanah dan di bawah naungan awan yang hitam, sepertinya alam mengerti tentang perasaanku yang sedang kalut ini. Bahuku mulai bergetar seiring dengan isak tangis yang tertahan. Hatiku benar-benar hancur menerima kenyataan ini.
Tetapi aku tidak boleh goyah, aku harus tetap mempertahankan cinta ini, untuk terus bersama Gaviku, aku tidak boleh menyerah. Dengan tekad kuat aku bangkit penuh rasa percaya diri serta mengembangkan senyum yang lebar ke aranya.
Laki-laki di hadapanku mengernyit melihat tingkahku, mungkin dia bingung karena aku yang tiba-tiba berubah ceria.
"Aku Anaya Fatimah dengan ini menyatakan bahwa—" Aku menggantungkan ucapanku lalu berjalan ke arahnya dan menggenggam tangannya, "aku akan terus bersama Gavi Kangjian Timorang sampai akhir hayatku, walau kita berbeda keyakinan," sambungku tersenyum lebar lalu memeluknya dengan erat.
"Ap-apa maksudmu?"
"Ya, aku akan terus bersamamu sampai kapan pun, kalau kamu merasa bermasalah karena keyakinan kita berbeda, aku akan mengikuti keyakinanmu," jawabku sambil tersenyum manis padanya.
"Tidak, tidak. Kamu tidak boleh melakukan ini, Ay. Kamu harus tetap pada keyakinanmu," ucapnya sambil menggelengkan kepala.
"Aku tidak peduli, yang aku pedulikan adalah tentang kisah cinta kita dan kebersamaan kita sampai akhir hayat nanti."
"Ta-ta-tapi ... ta—" Aku membungkam mulutnya dengan bibirku agar dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Aku, Anaya Fatimah. Gadis yang pantang menyerah untuk mendapatkan sesuatu dan akan berjuang sampai kapan pun untuk mendapatkan yang diinginkan, termasuk hidup bersama Gaviku.
💏💏💏
Uyeee.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya Drabble
Short StoryJangan dibuka! Nanti menyesal! Mending dibaca aja ceritanya.