2

70 10 4
                                    

"The greatest happiness of life is the conviction that we are loved; loved for ourselves, or rather, loved in spite of ourselves."

***

"UDAH LAH PAPA ITU GATAU APA APA TENTANG MAMA! GAUSAH SOK TAU, BOSEN MAMA DENGERNYA"
suara pertengkaran itu terdengar lagi, pasti terdengar setiap malam.

"MAMA EMANG SALAH, EMANG PAPA TAU! GIMANA? GIMANA PAPA MAU BETAH DI RUMAH KALO SETIAP PULANG KERJA SUASANANYA GINI"

"YAUDAH PAPA GAUSAH PULANG" suara bantingan pintu yang cukup keras mengakhiri pertengkaran mereka, untuk malam ini.

***

"Sumpah demi apapun kalo gue lama-lama dirumah bisa gila" Dinda memejamkan matanya.

"Nah kan, lo gila gue apa? Idiot kali gue dirumah terus" Landi mendorong kursi rodanya ke arah jendela. "Udah gih sana pergi ke kamar, udah malem, tidur di kamar lo"

"Gausah diusir juga gue bakal pergi kali" Dinda menutup pintu kamar Landi pelan. Lidahnya menjulur keluar sebelum pintu lamar Landi benar benar tertutup rapat.

"Gila gak ngantuk ngantuk gini gue" Dinda melihat ke arah jam dinding yang berada di dinding kamarnya, "udah jam 11 aja" gumamnya, namun tetap, Mara tidak bisa memejamkan matanya.

**

Karin sudah duduk cantik di bangkunya, ia menutup bukunya ketika melihat Dinda datang.

"Dindaa! Anjir, gue bete bangett sama Devin" Karin  memeluk Dinda yang baru saja datang. "Lo juga kok gak bales chat gue sih, sok sibuk lo tai"

Dinda tersenyum geli, "ya sori, gue kan lagi makan pas itu" ucapnya datar.
Karin mendengus sebal. Dinda  merangkul  Karin yang merengutkan bibirnya menuju tempat duduknya.

"Dah lo kalo mau curhat nanti aja pulang sekolah, ke rumah gue ya?" Dinda menawarkan niat baiknya dengan suara datar, Karin mengangguk pelan. "Gila lo udah jelek tambah jelek kalo manyun" Dinda memperhatikan raut wajah temannya dengan seksama, membuat Karin tersenyum geli dan memukul pelan paha Dinda.

*

"Din kantin?" Karin memastikan. Karna biasanya Dinda lah yang selalu mengajaknya ke kantin, kali ini tumben-tumbenan ia tidak bergerak sedikitpun.

"Nggak, mager" Dinda menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan, mendengus pelan.

"Lah tumben lo gak ke kantin? Udah ah ayuk kantin. Gausah sok jaim kalo gapunya uang, gue traktir deh" Karin menarik lengan Dinda paksa

"Dibilang gue lagi mager juga. Udah ah sana kalo mau ke kantin" Dinda menatap jengkel Karin yang sedari tadi tak berpindah dari tempatnya.

"Lagi diet?" Karin menebak, asal menebak kenapa Dinda tak ingin pergi ke kantin. Dinda menggeleng lemah.

"Anjir lah lo, gue gak mau ke kantin" Dinda membuka telapak tangan yang sedari tadi ia gunakan untuk menutupi wajah. Tampak sorot wajah kesal disana, Karin angkat tangan, bergidik ngeri. Jika sudah begini ia lebih baik mundur dan meninggalkan Dinda sendirian.

"Yaudah gue kantin ya, bye" Karin meninggalkan Dinda yang kembali menutup wajahnya. Ia masih merenung memikirkan kedua orang tuanya, ia benar-benar tidak tahan dengan pertengkaran yang setiap detik terjadi di dalam rumahnya. Pulang kerja, bangun tidur, makan malam, sarapan, berangkat kerja, gak lengkap kalo gak berantem dulu. Apalagi kalau sampai banting piring sana sini. Dinda dan Landi lebih memilih untuk keluar dan dengerin tetangga hajatan sambil nyetel musik dangdut yang asoy geboy dengan suara yang terdengar sampai ke kompleks lain.

"Dinda? Ngapain coy?" Nadia menepuk bahu Dinda pelan. Dinda masih memerjapkan  mata, nyawanya belum benar-bebar terkumpul.

"Apa lagi sih Rin?" Ucapnya mengigau, Nadia refleks mendelik. Gadis itu memegang kedua pipi Dinda, "eh lo kenapa sih? Kok error gini? Ini Nadiaa" Nadia melongos sebal.

"Jadi bukan Karin? Yaudah sana pergi" Dinda membuka matanya perlahan. Tangannya bergerak seolah mengusir Nadia jauh jauh dari pandangannya. Nadia mengernyit, lalu melambaikan tangan ke arah wajah Dinda yang sayup tak berdaya.

"Lo kenapa? Ada masalah? Cerita sama gue aja deh" Nadia duduk di bangku Karin. Menatap mata Dinda yang masih lumayan sembab.

"Ngantuk" balasnya singkat, Nadia menaikkan sebelah alisnya.

"Kok?"

"Ya namanya ngantuk terus kenapa jir" Dinda menatap sinis Nadia, moodnya sedang tidak baik. Hari ini ia sedang datang bulan, dan parahnya lagi, orangtuanya bertengkar lagi pagi-pagi buta.

"Cuci muka sana gih" Nadia memberi saran, ia tidak ikut emosi karna tahu Dinda sedang datang bulan, bisa-bisa ia yang terkena amukannya.

Dinda masih duduk dengan mata sembab menahan kantuk dan air mata. Sampai akhirnya Bu Winda datang ke kelas untuk mengajar sosiologi.

Pelajaran berlangsung dengan hikmat sampai akhirnya kedua bola mata Bu Winda menangkap kepala Dinda yang sebentar jatuh lalu menghadap ke atas lagi, lalu jatuh lagi, dan begitu seterusnya.
"DINDA!" Bentaknya keras, kepala terjedut meja sangking kagetnya. Ia masih mengantuk.
"Kamu punya sakit tidur apa gimana sih?" Bu Winda mendekat ke arah Dinda. Kebiasaan bu Winda akan memercikan air saat siswanya tertidur di kelasnya. Bahkan waktu itu Nino pernah disiram air minum karna tak kunjung bangun. Kejam memang.

"Maaf bu, tadi malam saya ada urusan keluarga. Jadi tidur larut" Dinda mencari alasan. Bu Winda masih tidak percaya dengan alasan Mara.

"Urusan apa? Bapak kamu kawin lagi?" Bu Winda mengejek Dinda, dengan kalimat yang menyinggung hati. Gadis itu mengangguk mantap.

"Gak cuma bapak saya bu, emak saya juga" Dinda memastikannya, jarinya melambai di udara.  Bu Winda melotot marah.

"Kamu jangan main main ya! Udah berani ngelawan guru hah?" Bu Winda mulai memanas.

"Enggak kok bu, Kakak saya tadi malem tiba tiba nyeri perut. Mama Papa saya gak mungkin peduli" Dinda menjawab enteng. Bu Winda mengangguk, ia sudah percaya. Karna hampir seluruh sekolah tahu bahwa Landi mengalami kecelakaan yang sangat dahsyat 3 minggu yang lalu.

"Yaudah, sekarang kamu ke toilet, cuci muka biar seger" perintah Bu Winda.

"Yaiyalah bu, masa cuci muka bikin galau" Nino menceletuk membuat seisi kelas tertawa, terkecuali Mara.

Gadis itu melangkah ke kamar mandi, tak menyangka bahwa mulai ia keluar kelas, seseorang memerhatikannya dengan penuh antusias.

***

AfraidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang