"You've gotta dance like there's nobody watching,
Love like you'll never be hurt,
Sing like there's nobody listening,
And live like it's heaven on earth."***
Sakit, sikutnya memar, ia meringis. Dinda melihat sikutnya yang lecet akibat tergesek karpet waktu ia terjatuh.
Ia tak bisa berkata apa apa, marah pun tak bisa. Ia ingin menangis, bukan karna luka kecil di sikutnya, namun hatinya, hatinya remuk melihat seseorang yang memperlihatkan wajah cemas, Bima yang terduduk di atas kursi roda juga tak bisa berbuat apa apa, hanya memandang wajah Dinda yang menampakkan wajah kesal dan menahan sakit, tapi ia dibatasi. Dibatasi oleh pertengkaran beberapa hari lalu di rumah sakit. Tangannya tak bisa meraih Dinda, cewek yang terluka di depannya.
Tak terasa butiran bening terjatuh dari matanya, tak kuasa menahan tangis. Seorang Bima menangis, itu sangat mustahil. Namun kali ini ia menangis, air mata bahagia karna masih bisa melihat Dinda, walau hanya melihatnya, membuat hatinya sungguh bahagia."Awh sakit" Dinda meringis lagi, darahnya masih terus keluar. "Sorry gue lagi buru buru" ucapnya, lalu langsung bangkit.
Bima masih memandang cewek di depannya, air mata di pipinya sudah mengering.
"Lo nangis? Sorry ga sengaja, gue duluan" Dinda melangkah pergi, sesuatu menahannya, menahan langkahnya untuk pergi meninggalkan tempat itu, untuk meninggalkan kejadia itu. Bima meraih tangan Dinda, seolah berkata untuk jangan pergi, tapi Dinda menepis genggaman tangannya. Ia berlari meninggalkan perpustakaan. Taman adalah tujuannya kali ini, untuk mengeluarkan unek unek di hatinya.Seseorang menepuk bahunya, "remed lo gue yang kerjain" ucapnya tiba tiba. Dinda menoleh, lalu menghapus air mata di pipinya.
"Thanks"
"Lo gak mau cerita sama gue Din?"
Dinda menoleh lalu tersenyum, "gak ada yang perlu gue ceritain, i'm fine"
"Gimana caranya gue percaya kalau lo nangis gini?" Karin menepuk bahu Dinda, "gue kenal lo dari kecil, jangan pernah coba buat bohongin gue"
Dinda menoleh, tangisnya meledak "Rin, gue beneran gak tau mau cerita apa sama lo. Semuanya susah buat di ceritain"
"Pelan-pelan aja, gue bakal dengerin terus kok"
"Semuanya dimulai waktu di rumah sakit, omongan Bima itu sama sekali gak bisa di kontrol. Gue gak tau kenapa bisa sensi banget"Dinda menyandarkan kepalanya di bahu Karin. "dia bener- bener kurang ajar Rin, gue gak bisa diem aja. sejak kejadian itu gue bener bener gak pernah ngobrol atau ketemu sama Bima"
"yaudah kalo emang lo lagi gak pengen ketemu atau bahkan ngeliat dia, lakuin aja. tapi untuk kali ini ikutin hati lo yang bodoh itu. Dia yang menang kali ini, lo harus hargain hati lo" Karin mengusap kepala Dinda, menenangkan hati sahabatnya.
***
Dinda membuka tali sepatunya dan melemparnya ke rak sepatu yang berada di sampingnya. Ia menarik ikat rambut yang sedari tadi berada di kepalanya, rambut lurus nya merasakan kebebasan untuk sesaat. sesaat sebelum suara pertengkaran itu kembali terdengar dari arah kolam renang.
Landi sudah 2 hari menjalani rehabilitasi, dan ia memilih untuk menjalani rawat inap demi menghindari pertengkaran yang ada di rumahnya. Dinda sendiri tak punya pilihan untuk tetap tinggal di rumah meski harus mendengarkan setiap detik pertengkaran yang selalu hadir di dalam rumahnya.
ia sendiri juga tak pernah mencampuri urusan kedua orang tuanya. namun hatinya juga bisa kesal, telinganya juga bisa panas, dan matanya juga bisa saja mengeluakan butiran air kapan saja. dan itu semua akan terjadi pada detik ini, hatinya sudah terlalu kesal, dan telinganya memanas akan suara yang benar benar tak ingin ia dengar selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afraid
Teen FictionI'm too afraid of fell in love. i'm too afraid to lose you Afraid by Ajeng. published on 27th January 2017