9

10 4 0
                                    

"You givin me a million reason, but baby i just need one good one to stay"

***

Ruangan berbau khas obat-obatan kini menjadi tempat rehat sementara Dinda setelah pulang sekolah, setidaknya ia bisa menghindari orang tuanya yang sibuk berdebat tentang masalah sepele.
Dinda selalu mampir ke rumah sakit, untuk menemani Bima sekaligus menghindari rumahnya sendiri. Yang biasa dilakukan hanya tidur, makan, sampai memperhatikan wajah Bima yang terpejam. Menusuk pipinya, mencubit pipinya, hingga menekan hidung Bima Ia lakukan. "Gue iri lo mancung" begitu kalau ia bertanya kepada dirinya sendiri.
Terkadang Karin datang menemani Dinda, juga tampak beberapa teman sekelas Bima seperti Dika, Reza, Neysha, Mutia, dan sebagiannya ia tak tahu namanya.

"Dinda ngapain nemenin Bima?"

"Udah jadian ya kalian?"

"Bima mah gausah ditemenin"

"Cie Dinda nemenin Bima terus"

"Cie udah jadian gak ngasih kabar lagi"

Begitu ucapan teman-teman Bima ketika melihat Dinda yang selalu berada di ruangan rawat Bima.
Cewek itu hanya bisa nyengir, dan menggeleng.
Dengan banyaknya teman Bima, namun Dinda tak melihat Risya sama sekali 4 hari ini.

"Sumpah ya Bim, gue gapernah liat adeklo jenguk atau apa" Dinda memonyongkan bibirnya. Mengejek Risya.
"Gila sampe kapan lo begini terus? Bosen gue gaada yang bisa diajak ngobrol" Dinda menggenggam tangan Bima. "Gue mau beli makan dulu ya"

Ia melangkah keluar, menutup pintu secara perlahan. Berjalan lesu ke arah lift tanpa ada semangat.

Handphonenya bergetar, ia segera meraihnya dan terkejut melohat nama Radit di layar.

"Halo Dit? Kenapa?"

"Din kamu dimana sih? Setiap aku kerumah pasti kamu gaada"

"Emang kenapa?"

"Ish, kata Landi kamu nginep rumah Karin? Bener?"

"Nggak, aku di rumah sakit, jenguk temen"

"Masa iya jenguk temen setiap hari, siapa kamu?"

"Temen aku"

"Namanya?"

"Penting kamu tau nama dia?"

"Plis Dinda, gak gitu, aku ini kakak sepupu kamu astaga"

"Landi kakak kandung aku aja biasa aja, kok kamu yang sepupu gupek banget"

"Okey fine, aku minta maaf"

"Namanya Bima, bye"

Dinda memutus sambungan telfon, seharusnya ia tak berkata seperti itu pada Radit, kakak sepupu yang paling dekat dengannya. "Duh ngomong apasih gue, goblok banget"

Tak begitu lama ia merutuki hal yang baru saja terjadi, ia segera memasuki lift dan menelan tombol Ground.
Ia melangkah cepat ke arah kantin karna lasa lapar tak dapat lagi ditahan. "Makan apa ya" gumamnya sembari memilah-milah menu masakan.

"Mau nasi udang satu deh mas, sama jus sirsaknya" ia mengembalikan menu kepada pelayan sembari tersenyum ramah.

"Itu aja mba? Tunggu sebentar ya"

Dinda mengangguk.

Lama. Makanan pesanan Dinda belum datang juga, sudah 20 menit berlalu. Dinda sudah mulai bosan, mendengar lagu sudah tak dapat membantu menghilangkan kejenuhan.

Seorang pelayan berjalan cepat ke arah meja nomor 5, tentu saja itu membuat Dinda semangat kembali. "Kok lama banget sih mas, saya udah laper"

"Maaf ya, pesanannya lumayan banyak yang dibuat"

Dinda mengangguk dan langsung menyeruput jus sirsak miliknya.

"Suegerr..." ia menyeruput hampir setengah gelas jus sirsak miliknya.
Tak memakan waktu lama untuk Dinda mengahbiskan makan siangnya.

Setelah membayar, ia langsung kembali ke ruangan Bima, mengambil tas sekolah nya dan mengecup pelan kening Bima, "gue balik dulu Bim, jangan tidur lama-lama"

***

"Din! Lo baru pulang? Dari mana aja?" Landi menghampiri Dinda yang terduduk lesu di sofa ruang tamu.

Ia mendengus, "abis jenguk Bima"

"Mandi dulu sana, bau banget lo dari jauh aja."

"Iya iya, eh Lan besok gue mau daftarin lo Rehabilitasi. Lo jadi ikut kan?" Tanyanya yang langsung dijawab anggukan dari Landi. "Sip"

Dinda membuka pintu kamarnya, melempar tas ke sembarang tempat, dan langsung menyalakan pendingin ruangan. Lalu mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi.

"Lan, emang Radit ke sini terus?" Dinda berteriak saat melihat Landi yang sedang menikmati es krim rasa pisang.

"Tiap hari" balasnya cepat.

"Oh iya, Lo kalo ngomong diatur dulu, gausah kebanyakan boong"

Landi nyengir kuda.

Karin: Din mau mkn ap

Dinda: sate ayam bang wito

Karin: sip gw otw

Dinda: gapake sambel

Karin: y

Dinda memang tak pernah meminta apapun kepada Karin, mereka sudah seperti saudara yang peka akan hal-hal tersembunyi dari diri mereka masing-masing.
Dinda mengusap rambutnya yang basah menggunakan handuk lembut, matanya tak lepas dari tv yang menyiarkan berita tentang group band favoritenya.

Suara klakson mobil memasuki telinga Dinda, ia sontak lari membuka pintu karna yakin itu Karin beserta sate Bang Wito. Dan ia benar.

"Gapake sambel loh Rin" ucapnya saat membuka pintu utama, Karin mengangguk mantap.

"Gue mau nginep, udah bawa baju" katanya sembari melepas sepatu di tangga.

"Yaudah, cepetan bawa kesini iyi satenya" Dinda mengibaskan tangannya, memanggil Karin.

"Nih, gue mau mandi dulu" Karin masuk duluan dan berlari ke kamar Dinda.

Landi melihat pergerakan gesit Karin mengernyit bingung, "kenapa Rin?"

Karin terhenti mendadak, kakinya masih tetap bergerak di tempat, "kebelet pipis" ia melanjutkan berlari setelah melihat wajah Landi. wajah mengernyit jijik melihat wajah Karin sendiri.

Landi mendorong roda kursi roda menggunakan tangannya, menuju ke ruang tamu. Dinda sedang sibuk berkutat membagi beberapa tusuk sate untuk makan malam kali ini, Karin membawa lebih banyak dari biasanya, ini artinya ia bisa memakan lebih banyak sate Bang Wito. "Lan, lo mau kan?" tanyanya dengan mata tidak berpaling dari sepiring sate diatas meja.

"ya mau lah, kali gue nolak rezeki"

"nih, kebagian 5 tusuk ya, adil" Dinda menyodorkan bungkusan sate. Landi pergi menuju dapur.

Karin datang dengan handuk di atas pundaknya. Celana pendek dan kaus tipis sudah diambil dari lemari Dinda, tanpa izin terlebih dahulu. Mereka memang sudah tak menghiraukan tentang suatu barang milik siapapun. Mau ini punya Karin atau Dinda, selama dibutuhkan akan langsung diambilnya.

"Hape lo dari tadi bunyi, gue lagi di kamar mandi. Gak tau siapa yang telfon" Karin menyodorkan handphone milik Dinda, lalu ia duduk mengambil satu tusuk sate ayam.

"Biarin aja lah, gue mau makan dulu" Dinda meletakkan handphonenya, mencoba fokus dengan santapan di depan matanya.

Telfonnya berdering lagi, nomor ini tidak ia simpan, jadi Dinda tak tahu siapa yang menelponnya.

"Halo?" Dinda memutuskan mengangkatnya,

"Mbak Dinda, Mas Bima sudah sadar"

Telfonnya jatuh, tak menunggu apapun Dinda langsung menarik tangan Karin untuk masuk mobil.

***

AfraidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang