Chapter Five

5.6K 295 1
                                    

   Thalia menggigit kuku jarinya sembari menunggu. Bel istirahat sudah berbunyi sedari tadi. Di kelas hanya ada dirinya seorang. Pikirannya masih terlintas kejadian yang membuatnya cemas.

   Kenapa ketua kelas pingsan hanya mendengar namanya?

   Apakah dia pernah bertemu Alvero sebelumnya?

   Kalau begitu, kapan dan dimana?

   Apa yang terjadi saat itu?

   Kenapa dia tidak mengingatnya sama sekali?

   Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Thalia hingga rasanya mau meledak. Tadi pagi, begitu Alvero pingsan, semuanya panik dan segera menggotongnya ke UKS. Pelajaran Fisika ditiadakan, karena Pak Hari harus menjaga Alvero di sana. Tetapi, tetap saja ada tugas yang ditinggalkan beliau.

   Setelah itu, anggota kelas ini sibuk dengan urusan masing-masing. Bermain laptop, mengerjakan tugas, menggosip, berdandan, hingga berfoto ria. Seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa sebelumnya. Semua kembali normal. Hal inilah yang membuat Thalia duduk membatu di bangkunya, sendirian. Diam seperti orang bodoh. Ketakutan seperti dihantui. Cemas seperti menunggu hasil semester.

   Hanya karena seorang Alvero—ketua kelas yang termasuk jajaran flowerboy di sekolah ini—pingsan karena namanya.

   Lamunan Thalia buyar ketika pintu kelas digebrak kasar. Siswa dengan seragam yang tidak dikancing, hingga memperlihatkan kaos berwarna putih dan dikeluarkan, rambutnya yang tidak disisir, dan wajah yang kusut, masuk ke kelas dan berjalan ke meja Thalia. Jantung Thalia berdegup kencang. Dia tidak main-main dengan penampilannya.

   Dia duduk di kursi sebelah Thalia yang dikiranya kosong, dan meletakkan kepalanya di atas meja. Thalia mengerutkan dahinya.

   Dia di kelas ini juga?

   "Gue saranin lo jangan ribut."

   Deg.

   Bulu kuduk Thalia berdiri. Suaranya mirip anak-anak gangster di drama akhir pekan yang sering ditontonnya.

   Thalia mengambil jalur aman, "i...ya."

   "Tidak ada perempuan zaman sekarang kalau tidak suka bikin ribut, ya cerewet."ungkapnya, tetap berada di posisi berbaring dengan wajah menghadap ke kiri—tidak berhadapan dengan Thalia.

   "Tidak juga."bantah Thalia.

   "Terserah."

   Thalia memilih diam seraya mengetuk-ngetuk kukunya di meja. Tidak lama kemudian, Alvero masuk dengan wajah sedikit pucat. Thalia segera menghampirinya.

   "Ehh... elo... sudah baikan?"tanya Thalia, sedikit gugup. Pasalnya, dia selalu canggung berbicara dengan orang yang baru dikenalnya.

   Alvero menatapnya tajam, membuat Thalia sedikit merinding.

   "Kenapa pindah ke sini?"tanyanya dingin.

   "Eh?"

   Kedua tangan Alvero dikepalnya hingga bergetar, "kau pura-pura bodoh ya?"

   Thalia tidak mengerti, "apanya?"

   Alvero berdiri, perlahan-lahan dia maju ke hadapan Thalia. Thalia refleks mundur, ketakutan. Emosi laki-laki ini tiba-tiba saja naik.

   Tangannya ke atas, hendak memukul Thalia. Gadis itu memejamkan kedua matanya. Ia ketakutan setengah mati.

   "Eh, ketua kelas."

   Ketika membuka mata, teman sebangku Thalia sudah berada di sampingnya, menahan tangan Alvero yang hendak mendarat.

   "Lepas!"seru Alvero, berusaha melepaskan genggaman kuat laki-laki itu.

   "Lo terlalu berkutat di depan buku pelajaran daripada belajar dari dunia luar."ucapnya, "lo tau, senakal-nakalnya cowok gak akan nyakitin cewek, apapun alasannya."

   "Jangan ikut campur."seru Alvero, wajahnya mulai memerah.

   Laki-laki itu melepaskan tangannya, "cuci muka lo. Ntar guru masuk dan ngelihat semuanya, lo mau dicap buruk kayak gue?"

   Alvero pergi. Thalia duduk terkulai di lantai, lemas. Hari pertama yang begitu buruk, tidak sesuai ekspektasinya.

   "Hei anak baru."

   Laki-laki di depannya tambah membuat Thalia ketakutan. Dia jongkok di depan Thalia, menatap Thalia dengan seksama.

   Thalia melihatnya. Tatapan mata mereka bertemu.

   "Benarkan pandangan gue kalau perempuan itu suka bikin ribut? Tidak terkecuali elo, anak baru."

Saturday, 28 January 17

ETS-01: H.A.T.E  [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang