Setelah sampai di rumah, seperti biasa, aku melahap nasi untuk mengisi perut yang di penuhi oleh cacing-cacing yang sudah men-demo. Tidak ada sebutir nasi yang tersisa pada selembar daun pisang ini. Ibu baru saja pulang dari sawah dan membawa sekarung beras untuk makan kami berdua selama kurang lebih 3 bulan. Gaji yang di terima Ibu tidaklah banyak. Paling-paling hanya Rp 120.000/bulan di tambah dengan sekarung beras/3 bulan. Tetapi bagi kami, itu sudah cukup.
Hentakkan kaki mengalihkan kami berdua. Rasa penasaran mendatangi kami, siapa yang berkunjung ke rumah kami. Nyatanya itu Ferri dan Ayahnya yang ingin mengucapkan salam perpisahan padaku dan Ibu. Linangan air mata menyertai aku dan Ferri. Teman kecilku pergi meninggalkan aku. Cukup jauh Ferri meninggalkanku. Kalau begini, entah siapa yang menjadi teman bermainku dikala jenuhku datang.
Kami berpelukan. Pasti. Teman terbaikku pergi tinggalkan aku jauh. Ibuku dan Ayahnya Ferri mencoba menenangkan kami berdua. Setelah itu kami saling melambaikan tangan disertai dengan tangisan.
Jarak Ferri sudah tak terlihat. Aku langsung mendekap diri dengan bantal. Meski bantalku hanya terbuat dari kapuk, tetapi ini bisa menenangkanku dengan rasa empuk dan lembutnya. Sampai-sampai bantalku ini basah merata hanya karna air mataku ini.
*****
Aku mulai melupakan kesedihanku. Namun, masih membekas dalam benahku. Rasanya sulit 'tuk melupakan kesedihan ini. Yasudahlah, sebaiknya aku memetik pisang di kebun belakang saja. Mungkin ini bisa melupakan kesedihanku ini.
Karena memetik disertai dengan napsu, aku mendapatksn banyak pisang, dan akan kuberikan pada ibu nanti agar bisa di olah menjadi lebih enak untuk disantap. Seketika, aku teringat dengan tugas yang diberikan oleh Bu Puja, yaitu mendeskripsikan biografi idola. Kira-kira siapa yang cocok untuk ku tulis di lembaran kertas? Ataukah ku tulis Ayah saja? Hm sepertinya akan menjadi karya yang menarik dan menginspirasi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Pohon
Roman pour AdolescentsRisa terlahir dengan tampang rupawan. Walau begitu, ia tetaplah Risa yang apa adanya meski ia harus merintih dengan air mata di setiap saat dan menanti kedatangan rumah pohon yang menjadi cita-cita sang Ayah. Bagaimanakah Risa mewujudkan impian ayah...