Ibu selalu menasehatiku sembari aku beristirahat. Terkadang karna ujarannya, aku jadi terlelap dalam tidur. Perlahan imajinasi mendatangiku dalam sebuah pikiran yang membingungkan. Mimpiku menyatakan aku haruslah membangun rumah pohon agar Ayah bahagia. Bagaimana bisa? Aku masih kecil bukan?
Ingin sekali kuwujudkan impian itu, tapi dikala nanti saat ku bisa lakukan semua hal.
Esok pagi, Ibu mendaftarkanku di sebuah SMP yang bernama 'SMP Makmur Jaya'. Entah dari mana uang yang ibu dapat untuk membeli sepasang baju putih dengan rok biru dan di hiasi dasi serta ikat pinggang. Tak lupa dengan topi yang menutupi sebagian rambut panjangku. Dan sepatu yang mengalasi kakiku. Padahal saat Ibu mendaftarkan SD, betapa susahnya membelikan seragam untukku. Sebagai anak, aku hanya bisa mengangguk tanpa komentar agar Ibu senang.
Hari pertama, para siswa memperkenalkan diri satu demi satu sampai bel pulang berdering. Guruku bernama Bu Puja. Beliau sangat ramah dan sabar mendidik kami. Tetapi aku tidak melihat Ferri sama sekali. Padahal kan tiada sekolah menengah selain SMP Makmur Jaya. Kau membuatku bingung saja, wahai Ferri.
Bangku disampingku diduduki oleh Ana. Dia mungkin akan jadi teman sebangkuku. Entahlah. Liat saja nanti.
Sekarang giliran aku maju memperkenalkan diri. Aku mendapat urutan ke 15 dari 24 siswa. Siswa disini sangat sedikit pertahunnya. Karena sedikit juga anak-anak yang menghuni daerah ini.
"Selanjutnya, Risa. Ayo Risa, perkenalkan dirimu."
"Hai teman-teman. Namaku Risa Andrina. Panggil saja aku Risa. Umurku 12 tahun. Aku tinggal di Desa Sejahtera Sakti. Ada yang hendak bertanya?"
Anak berkuncir dua mengacungkan tangannya. Ia bertanya kepadaku tentang suatu hal.
"Hei Risa! Apakah kau orang kaya? Kalau bukan, aku tak sudi jadi temanmu."
Bu Puja menyahut dengan lantang, "Kirana! Kau tidak seharusnya menanyakan itu! Walau Ayah mu pemilik lahan sawah, kau tidak boleh sombong!"
"Baik bu. Saya minta maaf." Ujar Kirana sembari melinangkan air mata.
Perdebatan antara Bu Puja dan Kirana tak berlangsung lama. Dan siswa lain melanjutkan perkenalan diri sampai usai.
*Kriiingggggg*
Bel pun berdering, tanda kami mengakhiri kegiatan disekolah. Bu Puja memerintahkan kami untuk berdoa sebelum keluar dari kelas.
*****
Di perjalanan pulang, aku tak sengaja memandang rumah pohon yang ada di depan mataku. Terbayang semua cerita Ibu yang diceritakan setiap aku tertidur. Semua ilusi terlihat jelas. Seperti sedang menyaksikan langsung. Mataku hanya bisa mengeluarkan cairan bening yang membasahi pipi karna terharu.
Terlintas sebuah pikiran di benahku. Pikiran yang tak masuk akal, tapi banyak pertanyaan yang melintas satu per satu. Yakni, 'apakah ini tanda bahwa rumah pohon Ayah semakin dekat untukku?'
Sudah jelas-jelas rumah pohon Ayah sudah dijual dan entah kemana. Sungguh aneh, mengapa ada pikiran sebodoh ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/97090485-288-k34456.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Pohon
Teen FictionRisa terlahir dengan tampang rupawan. Walau begitu, ia tetaplah Risa yang apa adanya meski ia harus merintih dengan air mata di setiap saat dan menanti kedatangan rumah pohon yang menjadi cita-cita sang Ayah. Bagaimanakah Risa mewujudkan impian ayah...