Selamat pagi. Waktu pagi adalah waktu dimana aku menjadi bagian hidup semua orang. Sedikit demi sedikit sinar sang surya mulai terlihat. Embun pagi menetes dari satu daun ke daun yang lain. Kabut tipis yang dingin mulai turun. Awan putih menyambut sapaan sang surya.Di pagi hari yang cerah ini, seorang gadis mulai membuka matanya. Dia akan segera memulai hidup barunya kali ini. Tanpa sesuatu. Sesuatu yang sangat berharga untuknya. Dan dia sudah menyadari hal itu.
Wajah pucat dan matanya yang terlihat sembap akibat tangisan rutin setiap malam di hari-hari liburan sekolahnya.
Dia segera bangun dan bersiap-siap. Dengan langkah gontai dan tanpa semangat. Hari ini dia akan mulai masuk sekolah lagi. Tapi entah apa yang dipikirkannya, dia tidak begitu serius kali ini.
Setelah selesai dengan semua urusannya di kamar, dia turun dan membawa tas hijau kesayangannya. Menghampiri ayahnya yang sedang menyiapkan sarapan pagi.
"Berangkat dulu," ucapnya singkat. Lalu dia segera pergi meninggalkan ayahnya dan berangkat ke sekolahnya-- berjalan kaki. Karena tidak ada lagi sepeda merah yang dia gunakan untuk berangkat sekolah kali ini.
"Mbun! Sarapan dulu!" teriak ayahnya dari dalam rumah. Namun apa daya, anak kesayangannya sudah berjalan jauh dari rumah.
***
"Eh, gimana liburan lu? Pasti asyik, ya? Diajak Om Danu jalan-jalan, 'kan?!" kata Marry sambil menatap Embun yang sedari tadi hanya membaca buku tulis kosong. Tidak ada jawaban dari Embun. Hening. Marry pun diam sejenak."Mbun! Lu kenapa, sih?" tanya Marry. Dia sangat khawatir dengan Embun kali ini. Wajah Embun sangat pucat dan matanya masih terlihat sembap.
"Mbun..." kata Marry sekali lagi. "gue denger Awan pindah, ya?"
Tiba-tiba air mata Embun keluar lagi. Buku yang sedari tadi dipegangnya ia remas kuat-kuat. Kepalanya yang tadinya tegak lama-lama semakin menunduk. Lalu dia sandarkan ke meja.
"Mbun, lu kesepian, ya?" kata Marry sambil memegang bahu Embun. "kan masih ada gue di sini... Temen lu nggak cuma Awan, Mbun... Lagian mungkin Awan pindah karena dia juga punya urusan yang penting..."
"Gue laper..." kata Embun. Singkat. Membuat Marry menatapnya tak percaya.
"Hah? Lu nangis gara-gara laper? Gile lu, ndro! Yaudah, yuk, ke kantin!" kata Marry.
Embun pun berdiri disusul Marry. Mereka segera berjalan ke luar kelas untuk ke kantin. Setelah Embun tahu bahwa Awan pindah ke Semarang, dia menahan dirinya untuk makan. Dalam sehari dia hanya makan dua kali-- bahkan terkadang hanya satu kali sehari.
Bruk!
"Woy, ada yang pingsan! Ada yang pingsan!" teriak orang di sekitar Marry.
"Mbun...! Embun!" teriak Marry sambil menepuk-nepuk tubuh Embun yang ada di pangkuannya saat ini. Untung saja Marry sempat menangkap Embun ketika Embun tiba-tiba terjatuh.
Beberapa anak laki-laki dan guru pun segera mendatangi Marry dan Embun. Embun diangkat dan dibawa ke UKS.
"Sumpah, deh, ya! Lu laper apa habis mogok makan, sih!" tutur Marry yang sedang menunggu di depan UKS.
Lalu ada seorang anak laki-laki keluar dari UKS. Marry pun segera menghadang anak laki-laki itu.
"Tungguuu! Gimana keadaannya Embun?! Dia nggak kenapa-napa, 'kan?!"
"Tenang, Mar... Embun cuma pingsan..." kata anak laki-laki itu.
Marry mengangkat wajahnya dan memandang anak laki-laki itu.
"E-eh, Arthur... Hehe..." kata Marry dengan wajah canggung.
Nahesa Arthur--biasa dipanggil Arthur-- adalah ketua kelas Marry yang terkenal galak. Jika kau berbicara sedikit saja saat pelajaran, sebuah penghapus atau bisa saja segumpalan kertas berisi sampah makanan bisa melayang ke arahmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan, Embun, dan Hujan
Ficção AdolescenteKami menghiasi pagi hari. Menemani matahari bangun dari tidurnya. Aku sebagai penyejuk dan kau sebagai penghias langit itu. Sebuah kebersamaan yang berarti. Bukankah kita saling terjalin? Bahkan badai hujan pun tidak akan memisahkan kita. Sebuah kis...