Bagian 1 : Gumpalan

147 9 8
                                    

Pagi yang lumayan cerah, waktuku untuk menjadi bagian dari hidup kalian semua.

Aku mengeluarkan uapan panjang. Melentingkan badan dan segera turun dari kasur bertiang empat dengan sprei berwarna biru tua itu. Dan segera berlari ke kamar mandi untuk menghilangkan rasa kantuk yang tersisa.

Keluar dengan rambut basah. Segera merapikan baju dan memakai dasi hitam kebanggaanku.

"Buku... pensil... penggaris... lainnya... Sip, deh!"

Selamat pagi. Waktu pagi adalah waktu dimana aku menjadi bagian hidup semua orang. Menjadi teman sang surya saat akan menampakkan kilau cahayanya yang pertama. Menjadi tirai pembuka saat detik demi detik sang surya mengokohkan diri. Menjadi penghias langit yang biru polos tak berbintang di pagi hari. Menjadi gumpalan yang terkadang menyembunyikan kilaunya. Dan tentunya diriku sebagai penyampai air mata hasil dari penguapan sang surya. Sebuah gumpalan yang menyedihkan.

Sebelumnya akan kuperkenalkan siapa gumpalan menyedihkan ini. Sesuai sebutan gumpalan itu, namaku Awan--lumayan keren untuk nama pemuda masa kini-- umurku 14 tahun. Aku menduduki kelas akhir alias tahun ketiga di sekolah menengah pertama. Saat ini aku masih menjalani semester pertama. Dan sebentar lagi aku harus segera meninggalkan tempat paling memuakkan itu. Bagaimana tidak. Aku dipaksa belajar selama 12 jam penuh dengan lima mata pelajaran setiap harinya dan ditambah guru yang tak bisa berkompromi dengan diriku. Bayangkan saja semua itu.

"Awaann! Embun sudah nunggu di bawah, tuh!"

Suara Mamiku. Dan Embun adalah--dia sepantaran denganku-- tetanggaku sekaligus satu-satunya teman perempuanku. Aku segera turun ke bawah dan menenteng tas berisi buku yang setiap lembarnya dibuat dari batu berbobot tiga kilogram itu.

"Sana ke depan, ajak Embun sarapan bareng!"

Memang Mamiku terlalu sayang kepada anak tetangga itu. Ibu tersayang ini sebenarnya menginginkan anak perempuan, tetapi entah kenapa muncul lelaki. Tapi tak ada gunanya juga untuk menyesalinya.

"Mbun, suruh makan bareng sama Mami..." kataku kepada gadis yang seumuran denganku itu.

"Diet, nih... Hehe..." balasnya dengan tatapan datar sambil masuk ke rumahku dan menuju ke meja makan. Aku yang berada di belakangnya hanya bisa menatap bingung. Dia memang perempuan yang aneh.

"Hai, Bunda Un!"

"Eh, Embun... sini makan bareng! Ambil piring, sendok, sama gelas dulu, gih!"

"Siap, Bun!"

Entah kenapa aku miris melihat Mamiku lebih akrab kepada Embun. Dari fashion, tutorial make up, sampai gosip para artis yang lagi naik panggung akan mereka bahas. Bahkan ketika liburan sekolah sewaktu kelas 3 SD, Mamiku mengajak Embun menginap dan tidur bersamanya. Dan aku diutus untuk menemani Om Danu--ayah Embun-- tinggal di rumahnya karena ditinggal Embun menginap di rumahku. Ya. Kami saling melengkapi, aku sudah tak punya sosok ayah dan Embun tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Ibu Embun meninggal setelah Embun dilahirkan. Sedangkan ayahku bercerai dengan Mamiku saat aku berumur dua tahun.

Aku melihat Embun makan dengan lahap karena slogan "diet"-nya itu. Setelah sarapan bersama, kami membereskan piring. Aku dan Embun segera pamit kepada Mami.

"Berangkat dulu, Bun!" kata Embun kepada Mamiku.

"Sip...! Titip si Awan, ya, Mbun..."

"Siap!"

Oke, aku akan menyerah jadi anak Mamiku sekarang.

Aku segera mengambil sepedaku dan seperti biasa, aku akan duduk di belakang sedangkan Embun yang menyetir.

Awan, Embun, dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang