02

25.4K 2.4K 34
                                    

Rasanya waktu berjalan begitu lambat. Sudah berulang kali aku mengacuhkan omongan Sarah yang menyetir. Ia terus mengomel sepanjang jalan karena aku tak bersedia menoleh padanya. Mobil kami sampai ke rumahku satu jam kemudian. 

Kejutan lain sejak terakhir Ayah mengunjungiku. Perusahaan yang Ayah kelola berbasis di Toronto, Kanada. Ia sering mengunjungi banyak negara lain untuk keperluan bisnis, tapi sangat jarang mengunjungiku di California. Sekalinya ia datang, Ayah biasanya membawa hal-hal buruk yang tidak diperlukam seperti sekarang ini.

Sekumpulan bodyguard.

Ketika mobil berhenti, aku tak perlu membuka pintu mobilku sendiri. Pria berbadan tegap dan berwajah kaku , salah satu bodyguard Ayah, dengan sigap membukakan pintu mobil untukku dan Sarah. Mereka memakai setelan jas hitam putih, dengan kacamata hitam kotak yang membuat wajah mereka terlihat semakin kaku. Anehnya, mereka terlihat semakin banyak dari terakhir kali kutolak saat Ayah mengunjungiku beberapa bulan lalu. Apa yang terjadi?

"Anakku yang cantik. Selamat datang kembali." Sambutan itu terdengar begitu aku masuk ke dalam rumah. Dari ruangan pribadi Ayah yang sengaja kusiapkan di salah satu ruangan di rumahku, Ayah membuka kedua tangannya yang lebar, tangan yang paling aman dan nyaman yang pernah memelukku saat tidur dan yang menyelamatkanku dari media. Sekaligus tangan menyebalkan yang membawa para penjaga yang tidak kubutuhkan itu.

"Selamat datang, di California, Ayah." Aku menerima pelukannya dan mencium pipi pria itu, "Bagaimana London? Apa Ayah tidak membawakan sesuatu untukku?"

"Kau yang membawa oleh-oleh untuk Ayah, padahal kau tidak ke mana-mana." Dengan sebelah tangan memeluk pundakku, Ayah membawaku ke ruang makan yang ternyata sudah diisi penuh makanan lezat. Aku memang lapar, tapi makanan sebanyak itu tidak bisa kami habiskan berdua. Aku mendongak, mengamati kerut di wajah tua Ayah dengan heran.

"Apa ada tamu yang akan datang?"

"Apa? Oh, tidak. Tidak ada siapapun, Ailee. Ayah hanya ingin merayakan berita baik darimu."

"Aku? Mungkin aku mengecewakanmu, Ayah, tapi aku tidak membawa sesuatu yang spesial untukmu."

"Calon menantu bisa dibilang cukup spesial untuk menjadi sebuah hadiah tiba-tiba, apalagi pria itu adalah aktor muda yang terkenal."

"Kita sedang membicarakan Evans?" aku melepaskan tangan Ayah dan mengamati sosoknya. Pria yang sudah berumur itu masih berdiri tegap dan gagah di sebelahku sambil membetulkan kacamata yang bertengger di hidungnya yang terlalu mancung menurutku. Jika ini adalah tempat umum, para pemuda akan berpikir dua sampai seratus kali untuk menggodaku jika Ayah berjalan bersamaku. Ide bagus untuk mempertemukan Evans dengan Ayah.

"Apa ada pria lain yang bersamamu sekarang?"

"Tidak, tidak. Mungkin ini lagi-lagi mengecewakan,  tapi sepertinya hubungan kami akan segera berakhir, Ayah."

Aku sempat melihat rahang Ayah menjadi tegang saat ia mengalihkan pandangan padaku dan mengangkay sebelah alisnya, "Apa pemuda itu menyakitimu?" Ayah kini menghadapkan tubuhnya padaku.

Wajah garang Ayah itu terlihat sangat menyebalkan. Aku tak suka wajah orang Prancis yang selalu terlihat seperti lukisan orang-orang zaman Renaissance. Ayah memiliki garis wajah keras dengan hidung panjang yang sangat khas seperti kakekku yang berasal dari Paris. Saat ia marah, wajahnya terlihat tegang, otot wajahnya kerkedut-kedut karena giginya saling menggigit di dalam mulutnya, dan matanya yang gelap menyolot padaku. Kenapa rasanya aku yang sedang dimarahi karena berselingkuh? Evanslah yang melakukannya, astaga.

"Apa yang terjadi? Baru kemarin Ayah dengar kau sangat berbahagia dengannya."

"Iya, dulu begitu. Sekarang, dia punya gadis lain yang ia sukai, gadis yang lebih cantik dan lebih seksi." Aku mengangkat bahuku sekilas sambil tersenyum pada Ayah saat mengatakannya.

Beauty and The StoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang