03

19.8K 2.2K 49
                                    

"Dia sangat cantik, bukan?"

Samar-samar aku mendengar suara seorang pria. Suara yang seperti tenggelam dalam air. Perlahan kesadaranku kembali, membawaku keluar dari lebatnya hitam di mataku. Bukan waktunya bermalas-malasan, Ailee! Kau harus sadar!

Aku masih bisa mengingat pembunuhan di rumahku. Mereka berbahaya. Aku harus lari.

"Zac, hentikan tatapan mengesalkanmu itu atau aku akan menusuk keduanya dengan tangan kosong." Balas seorang pria lainnya. Kurasa suara itu tak asing bagiku. Aku tak bisa mengingatnya dengan jelas, lebih sibuk merasakan indraku yang rasanya mati. "Bukan aku yang akan tergoda olehnya." Lanjut suara itu.

"Oh, ayolah, Shin. Kita harus membicarakan ini lebih lanjut. Aku tidak hanya ingin chip itu, aku bahkan tak membutuhkannya. Aku ingin gadis ini bersama kita. Dia bisa bernyanyi dan menari. Terlalu sayang jika hanya dilabeli seorang jaminan."

Oh, ya Tuhan. Tidak, tidak. Tolong aku! Siapapun!

Tubuhku masih sangat lemas dan kepalaku rasanya berputar-putar. Bagian leherku nyeri. Dan aku tak bisa bergerak banyak. Yang bisa kurasakan hanya kedua tanganku menggantung-gantung di udara kosong. Kiri-kanan, kiri-kanan.

Aku masih dibopong di atas punggung si pria besar yang membawaku keluar dari rumah tadi? Kuyakin setidaknya, aku dapat membuka mataku tapi pupilku seperti tidak bekerja. Tak ada cahaya yang dapat kulihat selain keremangan ruangan yang benar-benar gelap. Aku dibawa dalam kegelapan pekat, dan tak terdengar apapun selain langkah santai kedua orang yang sedang membawaku itu.

Bagaimana kedua pria itu bisa berjalan di kegelapan seperti ini?

"Pembohong. Kau hanya ingin mengusili Stoner."

Salah satu dari mereka membuka pintu. Suara berderik itu jauh dari kata pintu tua karatan, seperti pintu besi otomatis canggih yang sedang terbuka. Mereka membawaku ke dalamnya. Kali ini ada sedikit cahaya, aku bisa melihat ruangan itu adalah lorong kosong dengan banyak pintu seperti model motel murahan di pinggiran Atlanta. Sebuah lampu berpendar kekuningan remang-remang tengah-tengah atap menjadi satu-satunya penerangan di lorong ini.

"Stoner, kemarilah! Aku membawakan makanan kesukaanmu!" si pria besar berseru dengan suaranya yang bergaung di seluruh lorong. Ia tak menghentikan langkahnya dan terus membopongku. Sebelah tangannya membuka salah satu pintu, memasuki sebuah ruangan yang -lagi lagi- gelap.

Pria itu menidurkanku, atau mungkin lebih tepat disebut membantingkan tubuhku ke ranjang dengan seenaknya. Segera aku kembali menutup mata. Mungkin aku memang bukan seorang aktris, tapi bukan berarti aku tidak bisa akting. Aku berakting setiap hari, setiap detik, di luar sana dan aku hanya harus berpura-pura tidur hingga para pria ini pergi dan aku bisa mencari jalan keluar dari tempat ini.

Kerahkan seluruh kemampuan aktingmu, Ailee!

Aku merasakan ranjang itu sedikit bergoyang. Seseorang duduk di sebelahku. Goncangan itu tidak terlalu keras. Kurasa itu adalah si pria kurus yang duduk di samping tubuhku.

Sebenarnya aku ragu, tapi rasa penasaran terlanjut membuatku nekat mengintip dari sudut mataku. Benar dugaanku. Seseorang yang duduk di sampingku adalah si pria oriental. Aku bisa melihatnya dengan jelas di jarak ini. Rambut panjangnya yang hitam ia kuncir seadanya, bibirnya tipis dan ia sedang tersenyum menertawai omongan si pria besar. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.

Di depannya, terletak sebuah katana yang tersimpan rapi di dalam sarung pedangnya. Si pria oriental itu tiba-tiba melirik ke arahku tapi reflekku lebih cepat darinya. Aku sudah kembali menutup mataku.

"Mau sampai kapan kau berpura-pura tidur, perempuan?" tanyanya mencoba menjebakku.

Aku takkan termakan omongannya. Aku tetap menutup mata dan tidak berkutik. Sampai tiba-tiba sebuah tangan hangat mengangkat tungkai kakiku yang masih terkulai, lalu tangan lainnya mengangkat punggungku dan membawaku kepangkuannya.

Beauty and The StoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang