One.

8.4K 243 3
                                    

Yna POV

Aku mengerjapkan mataku, kulihat jam waker di nakasku menunjukkan pukul 05.15. Aku segera bangun untuk mandi dan bersiap kesekolah.

Aku masih duduk dibangku SMA kelas 2. Kedua orang tuaku entah kemana, mereka pergi sejak aku masih kecil dan menitipkanku pada panti asuhan. Di umurku yang akan menginjak 17 tahun pada bulan depan, aku ingin hidup mandiri. Jadi dulu aku memutuskan untuk pergi dari panti asuhan. Aku membeli sebuah apartement dekat sekolahku, kalian ingin bertanya kan, dari mana aku bisa membeli apartement itu? Kata Amber, penjaga sekaligus yang mempunyai panti asuhan. Orang tuaku memberikan sejumlah uang, bahkan sangat besar. Dan orangtuaku menyuruh menyimpannya, agar suatu hari kelak jika aku sudah besar, aku bisa memakai uang itu. Sekarang aku sudah besar dan sudah meminta uang itu, dan sebetulnya uangnya sangatlah besar harganya bahkan sampai bisa membeli apartement VVIP. Tapi, kupikir aku lebih baik membeli yang cukup buatku saja dengan kamar satu, kamar mandi, ruang tengah dan dapur. Sisa uang yang masih banyak, ku bayarkan untuk sekolah sisanya lagi untuk panti.

Aku juga berkerja paruh waktu di malam hari, di cafe yang paling terkenal di kota ini. Aku berkeja sebagai pelayan, dan hasilnya untuk uang sakuku, karna yang sudah aku bilang, uang sekolah sudah aku lunaskan sampai aku lulus nanti.

Disinilah aku, berjalan di koridor utama sekolah yang masih sepi. Aku tadinya berniat ingin ke kantin untuk mengisi perutku, tapi ku urungkan niatku. Aku berjalan menuju tempat loker. Aku menjerit, terkejut bukan lagi. Aku menemukan seekor kucing hitam mati di dalam lokerku, tak lupa darah yang berceceran kemana-mana. Segera aku mengambil ikat rambut di saku rokku dan mencepol asal rambutku. Aku meneguk salivaku dengan susah payah. Aku tak menyangka, siapa yang berbuat ini? Memang aku merasa direndahkan sekolah disini. Aku tak punya teman, apalagi sahabat. Aku sering di bully oleh Kara, Tania dan Christin. Entah apa salahku? Mereka membullyku. Dan sekarang mereka memasukkan kucing hitam mati pada lokerku. Sungguh. Ini sudah kelewatan. Derap langkah samar-samar ku dengar.

"Hello baby, gimana hadiah dariku, baguskan?" mereka tertawa kencang sangat kencang sekali, hingga lorong ini bergema. Siapa lagi kalau bukan Kara, Tania dan Christin. Aku tak kuasa lagi membendung air mataku. Ya, nasi sudah menjadi bubur. Aku sufah terlanjur menangis di pagi hari ini. Aku berjalan mendekat pada Kara, ketua mereka.

"Bilang padaku, mau kau apa? Apa salahku selama ini padamu? Apa yang telah aku perbuat padamu sampai-sampai kau melakukan semua ini padaku? Beritahu aku, ayo beritahu! KU BILANG BERITAHU AKU!"

Plak.

Tamparan yang bagus mengenai pipiku, sampai darah ku keluar dari bibir ku. Aku meringgis. Tanganku bergerak menyentuhnya. Sakit. Tapi lebih sakit dalam hatiku. Dasar BICTH.

"Berani-beraninya kau membentakku! KAU MEMBENTAKKU, BICTH!" kata si BICTH.

Plak.

"Tak sakit kan? Pasti kau tak sakit jika hanya satu kali tamparan, BITCH. Bedakmu terlalu tebal, lipstik mu menor, shadow mu terlalu cerah, alis mu palsukan? Apa bukannya itu yang dinamakan B.I.T.C.H?" Dua menatapku tajam, namun Aku tak kalah tajam.

Lenganku ditarik oleh kedua temannya, menghempaskanya ke loker. Sakit sekali kepalaku. Aku memejamkan mata supaya rasa sakitnya menghilang sedikit. Aku melihat sekitar untuk mencari bantuan. Namun, yang hanya kulihat pria yang sedang mengintip. Saat akan teriak Bitch itu bangun dari sungkurannya.

Plak.

Plak.

Plak.

Plak.

Bugh.

Bukan, bukan aku yang jatuh. Tapi Bitch itu yang jatuh. Baru pagi dia sudah menamparku sebanyak lima kali. Dan aku menampar bitch itu sekali. Bonus untukku. Tadi aku mendorong perutnya menggunakan kakiku dengan sekuat tenaga. Ingin tertawa. Tapi kuurungkan, karna jika aku kejam dia bisa lebih kejam dari ini.

Pria yang tadi sedang mengintip, membantunya. Hey! Bukannya membantuku yang menjadi korbannya dia malah membantu BICTH itu. Sialan. Oke, sekarang aku bebas karna kedua temannya juga membantunnya. Pembalasan selanjutnya adalah aku mengambil kresek hitam dari tasku, lalu menggunakannya seperti sarung. Aku mengambil kucing hitam mati dengan jijik dari lokerku. Dengan kejahilanku kulempar kucing itu ke atas kepala BITCH yang sedang bermanja-manja dengan pria itu. Hening.

Satu.

Dua.

Ti--

"AAAAAAAAAAAAAAK." teriak mereka, dan yang paling kencang adalah BITCH itu. Hahaha.

Aku menutup telingaku sambil berlari menjauhinya. Setelah yakin sudah jauh aku tertawa jadi-jadian. Membanyangkan BITCH itu langsung pingsan dan tak ada orang yang membantunya karna jijik.

"Pengumuman! Bagi siswa yang bernama Yna Adzani. Di tunggu di ruangan Kepala Sekolah, sekian terima kasih."

Sudah pasti, dan sudah ku bayangkan. Aku langsung berjalan ke ruang kepala sekolah. Semua siswa membicarakanku, ada yang menatap jijik, ada yang hina tapi aku berusaha cuek.

Sesampainya aku berada di ruang kepala sekolah. Sudah ada ketiga Bicth dan seorang pria, entahlah dia siapa. "Ada apa sir. Sir memanggil saya."

"Menurutmu, apa kau merasa di panggil." kata bicth itu dengan darah yang ada di kepalanya.

"Baiklah, silahkan duduk ms. Adzani." aku duduk dibangku yang telah di sediakan. "Apa benar kau menampar ms. Quella, kau sempat menendang perutnya dan melempar ms. Quella dengan bangkai kucing?"

"Memang aku melakukan itu." jawabku jujur.

"Apa kau tak sadar jika kau melakukan kesalahan?"

"Ya, aku sadar, tapi, apakah sir tak menanyakan sesuatu padanya, sehingga aku melakukan itu semua."

"Apa yang kau lakukan padanya?"

"Aku tak melakukan apapun. Benarkan guys." teman-temannya hanya mengangguk. "Ya, kan Alen." tanyanya pada pria itu dan bodoh, dia malah mengangguk. "Tuh, kan, sudahku bilang, aku tak melakukan apapun sir." Bohong. Sangat Bohong.

"Apa kau dengar itu ms. Adzani."

"Ya, saya dengar dan saya tak tuli. Mungkin pria itu buta." kutunjukkan jari tengahku pada pria yang dipanggil Alen.

Wajah Alen terkejut, semua yang diruangan pun melihat kearahnya. Aku tersenyum miring. "Mengapa kau menuduhku." katanya.

"Memangnya aku tak tau, jika sedari tadi kau mengintip acara kami." sir Generald Jovin terkejut saat aku mengatakan 'kami'. "Jadi, sir tanyakan saja padanya. Oh, atau sir masih tak percaya. Oke, lihat saja di CCTV selesai kan."

"Baiklah." sir Generald sempat melirik ke arah Alen. Dia mengambil ponselnya lalu menelfon seseorang. "Bawa kesini CCTV di lorong loker sekitar 2 jam yang lalu."

Tak lama seseorang mengetuk pintu dari luar, sir Generald mengizinkan orang itu masuk. Nampaknya dia membawa sebuah flahsdisk.

Wow!

Terpampanglah kejadian tadi dari saat lorong loker kosong sampai aku berlari untuk kabur. Jelaskan dia siapa yang salah. "Kalian berdua bersalah. Jadi skors seminggu, untuk kau ms. Quella skors sehari."

Pilih kasih, tidak! Ini tak adil. "Ini tak adil sir, mengapa aku skors seminggu dan dia hanya sehari. Apa kau kau buta sir. Bahkan dia menamparku lima kali, sir kau ini-"

"Oke, kalian ku skors sehari." Aku menghela nafas lega. Pembelaan ku berhasil.

"Baiklah, aku permisi." Aku meninggalkan ruang terkutuk itu. Gila aku.

TBC...

Mate Is LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang