4.

264 16 6
                                    

Sorry for typo(s), jangan lupa vomment
.
.
. Nk POV
Salsha menatap Bastian tanpa berkedip, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Dasar. Candaan lo emang aneh-aneh, Bas. Kadang gue nggak tahu lo bercanda atau sungguhan deh" asal tahu saja, aku merasa ucapan Bastian tadi sungguh-sungguh. Tapi, tentu saja itu cuma perasaanku, lantaran aku menganggap Bastian menakutkan.
  Suara Pak Agus menyela pembicaraan kami.
"Masukkan semua buku dan keluarkan kertas ulangan!"
"Aduh, gue lupa bawa kertas ulangan" keluh Salsha.
"Bagi dong, Bas!" Tanpa banyak protes, Bastian membuka tas ranselnya yang, omong-omong mirip banget dengan tas Salsha, hanya saja warnanya hitam. Dikeluarkannya buku kertas ulangan, dan disobeknya selembar sebelum diberikan kepada Salsha.
"Thanks, sayang" ucap Salsha seraya menoleh padaku
"Lo mau juga, (nam..)?"
"Nggak" sahutan tergagap
"Gue bawa sendiri kok" buru-buru aku membalikkan badan dan menyibukkan diri dengan mempersiapkan alat tulisku. Sesaat, tengkukku terasa dingin, membuatku menyadari bahwa Bastian sedang mengawasiku. Aduh, kenapa sih Salsha harus berteman dengan cowok seram ini?
Nk POV off
***
Salsha POV
Kadang aku merasa cuma (namakamu) orang yang memahamiku di dunia ini. Aku bukan cewek biasa. Kebanyakan orang akan setuju dengan pernyataan itu. Bukannya sombong, tapi aku tahu wajahmu cantik, tubuhku oke, dan penampilanmu keren. Sudah tak terhitung berapa banyak cowok yang benar-benar menjadi pacarku, dan tak terhitung pula cowok yang kubikin patah hati. Tapi, bukan itu yang kumaksud saat kutilang aku bukan cewek biasa. Aku tidak pandai secara akademis. Menurutku, mempelajari yang namanya Matematika, Fisika, Ekonomi, apalagi Sejarah apa gunanya kita menghafal tanggal pertempuran ini dan itu, padahal jelas-jelas sekarang negara kita sudah damai--- benar-benar membuang-buang waktu saja. Kalau sistem pendidikan kita lebih bijaksana, seharusnya kami diajari cara berdandan, mode pakaian yang sedang ngetren, dan cara menggaet pacar. Maksudku, coba lihat (namakamu). Cewek malang itu benar-benar butuh pertolongan. Meski dia tergolong murid pandai, tidak ada satu pun pelajaran sekolah yang membantunya keluar dari kesulitan masa remajanya. Bukannya semua pelajaran di sekolah itu konyol. Aku suka pelajaran Seni Rupa. Sejak kecil aku selalu menjadi kesayangan guru-guru Kesenian, karena aku pandai menggambar. Darah artis memang mengalir dalam tubuhku, meski orangtuaku lebih menyukai musik daripada seni lukis. Dan kalian tahu kan, artis memang tidak mudah dipahami. Karena itulah aku benar-benar menghargai orang yang mau memahamiku. Seperti (namakamu). Kalau aku menyebut Jenny (read:(namakamu)), maksudku sudah pasti bukan Jenny tompel (read:bella) yang bertampang menggelikan dan selalu mengira dirinya kembaran J-Lo itu. Juga bukan Jenny bajaj (read:Steffi) yang kepingin kuinjak-injak mukanya setiap kali dia mulai merengek. Kalau aku menyebut menyebut Jenny, sudah pasti itu adalah Jenny sahabatku (read:(namakamu)), bagian dari "Salsha dan (namakamu)", cewek pemalu dan sederhana yang penuh pengertian dan selalu sabar menghadapiku.
"Sst, (nam..)!"
(Namakamu) mengalihkan perhatiannya dari kertas ulangan yang sedang ditekuninya. Tatapannya agak nanar karena konsentrasinya sedang terpecah. Kupelototi dia dengan mata nyaris keluar---hal yang tak terlalu sulit karena mataku memang lebar-- dan dia langsung mengerti. Tanpa mencolok, dia menyingkirkan lengannya yang tadinya menutupi kertas ulangan nya. Tapi sial, tulisan (namakamu) kecil banget, seperti barisan semut beriring. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang ditulisnya.
"Nggak keliatan" bisikku jengkel.
"Tulisan lo gedean dikit dong"
"Salsha! Ada apa?" Teguran Pak Agus, si guru sejarah berjenggot kambing, menyentakkanku
.
.
.
An/
Segini dulu yak dah malem btw jan lupa vomment bhayy ~ khai

Obsesi ❌ IDRWhere stories live. Discover now