0.1

253 17 4
                                    

Jika mataku mampu terbaca
Mungkin kamu kan menangis
Karena melihat begitu banyak luka
Dalam hidup kecilku
.
.

Kata orang, mata itu gak bisa bohong.

Kata orang, mata adalah mulut kedua.

Kata orang, mata menyiratkan segalanya.

Tapi bagaimana dengan mata milik Azkia Nursyifa?

Azkia Nursyifa. Gadis remaja 16 tahun yang bersekolah di SMA Bangsa 88 dan duduk di bangku kelas dua.

Matanya hanya menyiratkan kekosongan, tanpa ada yang bisa membacanya, kecuali kakaknya.

Dia adalah Givano Fahmi, kakaknya Azkia. Hanya terpaut selisih usia 10 menit. Mereka kembar, namun tak identik.

Bukan hanya fisik dan kelamin yang tak identik, namun pemikiran dan sifatpun tak identik.

Azkia dengan sejuta emosi dan sifat esnya, sedangkan Fahmi dengan sejuta kekalemannya dan kedewasaannya.

Hanya satu persamaan, paras yang sama-sama rupawan.

"Kia, sarapan dulu." ucap Fahmi ketika melihat Azkia turun dari tangga. Azkia sudah rapih dengan seragamnya, tangan kirinya menggenggam ponsel, sedang rambutnya tergerai begitu saja.

"Dek, pake kerudungnya. Bunda kan sudah belikan banyak kerudung." ucap Asma, bunda Azkia dan Fahmi, sedangkan ayah mereka sudah meninggal ketika Azkia dan Fahmi sama-sama berumur 9 tahun.

"Males ah, gerah." jawab Azkia seraya memakai sepatunya.
"Kia berangkat."

Dia langsung ngeloyor begitu saja tidak perduli dengan omelan kakaknya.

"Maafin Kia ya bunda. Dia selalu aja kaya gitu." ucap Fahmi seraya meletakkan sepiring nasi goreng di meja.

"Gak apa-apa kok. Bunda paham." Asma tersenyum, meski dipaksakan. Hatinya getir melihat anak perempuan satu-satunya menjadi seperti itu. Ia merasa gagal menjadi orangtua, meski tak bisa ia pungkiri bahwa ialah penyebabnya.

"Fahmi berangkat dulu ya bun. Bunda jangan lupa sarapan dulu kalo mau berangkat ngajar. Assalamu'alaikum." Fahmi mencium punggung tangan Asma dan kedua pipinya. Ia tidak perduli jika harus dibilang lebay atau anak manja.

Karena menurutnya, menunjukan kasih sayang bukanlah sesuatu yang berlebihan. Terlebih kepada orangtua yang sangat patut kita hormati dan sayangi.

Fahmi mengendarai motornya menuju sekolah. Meski satu sekolah dengan Azkia. Tapi Azkia tidak pernah mau bareng dengannya, baik berangkat ataupun pulang sekolah. Di sekolah saja ia bersikap cuek. Mungkin karena malas mendengar ceramah Fahmi yang membuat telinganya panas.

Fahmi maklum, kejadian dulu pasti sangat membuat Azkia terpukul. Tapi mau sampai kapan dia seperti ini?

Fahmi memarkirkan motornya dan meletakkan helmnya.
"Fahmi." panggilan seseorang membuatnya menoleh. Dilihatnya Ari, teman sebangkunya, datang menghampiri.

"Gak bareng Kia lagi?" tanya Ari.
"Nggak. Lo kan tau dia gak pernah mau bareng gue." jawab Fahmi seraya meletakkan ibu jari kanannya pada finger print absen.

"Eh dia beneran adek lo kan?"

"Iya lah, lo gak liat kemiripan kita? Walaupun bukan kembar identik tapi kan ada miripnya dikit mah."

Ari mengangguk. Dia dapat melihat kemiripan di mata bersorot tajam milik Azkia dan Fahmi. Hanya saja milik Azkia penuh kekosongan dan begitu dingin, beda dengan Fahmi yang begitu hidup.
"Kia bukan hantu kan?" celetuk Ari.

AZKIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang