0.2

153 14 0
                                    

Karena aku bukan kalian.
Emosiku?
Sudah hilang diterbangkan angin
Namun angin tak turut membawa lukaku
.
.

Fahmi memicingkan matanya, memastikan sesuatu di hadapannya.

Ah benar itu Azkia, batinnya.

"Assalamu'alaikum pak. Ada apa dengan adik saya pak?" tanya Fahmi ketika sudah ada di depan pak Kholil.

"Wa'alaikumussalam. Eh Fahmi. Ini loh adik kamu, udah lima kali berturut-turut gak hadir di pelajaran saya. Alasannya selalu sama, sakit. Tapi tadi saya lihat di UKS malah tidur." Fahmi terkejut dengan penjelasan pak Kholil, itu karena ia tidak sekelas dengan Azkia. Letak kelas pun sama-sama di ujung sehingga tidak bisa melihat.

"Orang sakit kan bawaannga pengen tidur, bukan lari-larian." ucap Azkia dengan berani dan cuek. Tak ada bedanya dia mau bicara pada yang lebih tua atau lebih muda. Nada datar dan dingin, serta ekspresi datar itu selalu ada.

"Diam kamu!!" bentak pak Kholil,
"Cepat ikut ke kantor." pak Kholil pun berjalan kembali, diikuti Azkia yang mendapatkan gelengan kepala dari Fahmi.

Kia.. Kia. Hobi banget ngoleksi masalah. Batin Fahmi.

*****

Suasana kantin cukup ramai saat istirahat, membuat para pedagang kewalahan mengatasi pembeli.

Terlihat di salah satu bangku ada Tiana yang sedang menyeruput es teh manisnya,
"Assalamu'alaikum." Tiana mendongak, mendapati Fahmi, Ari, dan Reihan sudah ada di hadapannya.

"Wa'alaikumussalam. Iya ka, ada apa?" ucap Tiana.

"Ah elah, udah dibilang jangan manggil kakak-kakak mulu. Kita seumuran. Cuma gara-gara Azkia manggil saya kakak gak berarti saya tua, cuma beda 10 menit." dumel Fahmi.

"Hehe iya maaf. Ada apa Fahmi?" ulang Tiana.
"Eh, gue mesen es dulu ya. Liat Tiana minum es gue ikut-ikutan haus." ucap Ari.
"Yaudah sekalian tiga. Nih uangnya." titip Reihan.
"Ini mah cukup segelas doang Rei." protes Ari.
"Lah terus?" bingung Reihan.
"Gak peka lo kaya laki." Ari langsung pergi ke penjual es.

"Mengapa tuh bocah? Kan gue emang laki ya Na?" tanya Reihan pada Tiana yang menahan tawanya, Tiana paham maksud Ari adalah minta traktir.
"Iya kali." jawabnya lalu tertawa kecil.

"Fahmi, ada apa?" tanya Tiana lagi, karena Fahmi masih belum menjawabnya.
"Itu, saya mau tanya. Emang bener Azkia jarang ikut pelajaran pak Kholil?" tanya Fahmi, to the point.

Fahmi cukup populer di sekolahnya, dikarenakan ia ketua rohis dan mempunyai banyak prestasi.
Azkia juga tidak kalah populer, namun populer karena kenakalannya. Prestasinya cukup gemilang dalam bidang olahraga, karena ia anak yang sangat aktif maka tak sulit baginya mengikuti bidang olahraga yang cukup menguras energi.

"Oh itu. Iya, Azkia bilang gak suka pelajaran IPS, gurunya juga bosenin." jawab Tiana kemudian mengeletuk batu es sisa es miliknya.

"Apa pelajaran lain kaya gitu juga? Atau.. Makasih Ri." ucapan Fahmi terpotong ketika Ari memberikan es jeruk pada Fahmi, Ari hanya menganggukkan kepalanya kemudian asyik memainkan ponselnya.
"Atau ada pelajaran lain yang kaya gitu?" lanjutnya.

Tiana mencoba mengingat-ingat, takut memberikan informasi salah yang berujung pada fitnah.
"Nggak kok, cuma pelajaran pak Kholil aja. Soalnya kan memang cara ngajar beliau memang agak membosankan, sedangkan Kia kan orangnya aktif banget. Gak suka yang bosen-bosen gitu. Nah, kalo pelajaran olahraga tuh dia paling semangat." jelas Tiana akhirnya.

Fahmi pun manggut-manggut. Ia akui bahwa adik kembarnya itu sangat suka olahraga, berbeda dengan perempuan kebanyakan yang merasa risih berkeringat. Ia justru menyukainya.

"Ih Tiana daritadi dicariin taunya..." ucapan Azkia terpotong ketika melihat kakaknya dan dua temannya ada di situ.
"Ngapain lo di sini kak?" tanya Azkia lalu duduk di samping Tiana.

"Ngobrol aja. Gimana urusan kamu sama pak Kholil?" meskipun Azkia bersikap kurang sopan padanya, dia tak pernah membalas kurang sopan, ia selalu bersikap lembut pada Azkia. Karena bagaimanapun juga Azkia adalah adiknya.

"Beres." ucapnya santai, sedangkan Fahmi menatap Azkia dengan tajam, pertanda bahwa ia meminta penjelasan. Azkia hapal sorot mata itu.
"Gue bilang gue nyeri haid." jawab Azkia dengan cuek.

"Lo mah emang jagonya ngibulin guru, Az." Ari dan Azkia ber- high five. Namun mendapat pelototan dari Fahmi.

"Sikap kamu itu gak baik. Guru itu orangtua kedua kita di sekolah, kamu gak boleh bersikap seperti itu Kia. Kamu harus hormat, beliau guru kamu dan lebih tua dari kamu." jelas Fahmi.

"Gak usah ceramahin gue kak." tolak Azkia.
"Urus aja urusan lo."

"Fahmi itu perduli sama lo Kia." ucap Reihan menengahi.

Fahmi menghela napasnya,
"Kamu harus bersikap baik pada guru Kia. Mereka orangtua.."

"Gue duluan." Azkia bangkit begitu saja tanpa memperdulikan ocehan Fahmi yang belum selesai.

Mereka menatap kepergian Azkia, Fahmi menghela napasnya.
"Selalu aja gini. Selalu marah kalo gue nasehatin."

"Eh, dia marah?" tanya Reihan, bingung. "Habisnya muka sama cara bicaranya datar gitu, ditambah tatapan mata yang kosong. Gak ngerti gue jadinya." Reihan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Cuma gue yang bisa baca raut mukanya yang datar." sahut Fahmi, "Jangan dikejar. Tunggu amarahnya reda. Dia gak akan dengerin siapapun kalau lagi marah." ucap Fahmi ketika melihat Tiana hendak mengejar Azkia.

"Lo harusnya jangan terlalu keras sama dia." nasehat Ari.

"Gue udah coba macam-macam cara. Dari lembut, biasa, keras. Gak berpengaruh buat dia." ucap Fahmi. Reihan dan Ari kini sudah tahu masalah Azkia, karena Ari memaksa Fahmi untuk cerita ketika tadi pagi dibuat penasaran dengan kalimat 'kalo lo tau sebabnya lo bakal paham.'

Dan benar, ia paham.

"Dia itu kan api. Mudah kebakar, harusnya lo bisa memposisikan jadi air." nasehat Ari juga.

"Iya, harusnya." gumam Fahmi.
"Saya titip Azkia ya Tiana."

Tiana pun memberikan hormat layaknya tentara.

*****

"Azkia... Oper." teriak Nilo. Namun Azkia tidak memperdulikannya, ia asyik membawa bola, melewati beberapa lawan dengan menubruknya dan menendang bola ke dalam gawang.

Setelah itu menangkap bola dan membantingnya dengan keras. Ia pun lebih memilih duduk di tribun penonton di pinggir lapangan.

"Napsu amat lo mainnya, ampe ditubruk-tubrukkin." komentar Nilo, teman sekelasnya. Azkia tidak menjawabnya, dia lebih memilih pergi ke kelasnya.

"Kia, nih minum." ucap Tiana seraya menyodorkan sebotol air mineral.

"Makasih." ucapnya lalu segera meneguknya.

Ia merasa panas setelahnya. Bukan hanya badan karena kegerahan. Namun hati dan matanya juga memanas.

Gak, gue gak boleh nangis di sini. Batinnya.

Ia pun beranjak pergi.

"Mau kemana? Sebentar lagi bel masuk." cegah Tiana.
"Toilet." Azkia pun segera berlari ke toilet, tak ingin airmatanya meluncur di depan umum.

❄❄❄❄

AZKIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang