0.6

101 12 0
                                    

Biarkan aku sendiri
Berusaha mengobati
Hati yang tersakiti
Karena luka yang terpatri
Dalam benak diri
.
.
.

Azkia sibuk mengaduk-aduk es teh manis di hadapannya. Hanya mengaduk-aduk tanpa berniat meminumnya. Dia merenungkan kalimat Evan tadi di lapangan.

Jujur saja.

Ia memang ingin berubah. Namun dia belum menemukan celah di hatinya untuk melepaskan segala benci yang tengah bersemayam dengan setia di hatinya.

Ia menghela napasnya dengan kasar, lalu menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangannya yang ditelungkupkan di meja.

"Kenapa dek? Sakit?" Azkia mendongak dan melihat kakaknya, Fahmi, kini tengah duduk di hadapannya seraya mengangkat kedua alisnya bingung.

Azkia hanya menjawab dengan gelengan kepala. Lalu kembali menyembunyikan wajahnya.

Fahmi mengelus kepala Azkia,
"Kalo ada apa-apa bilang sama kakak." Azkia hanya diam mendengarkan, ia suka ketika Fahmi memperlakukannya dengan begitu penuh sayang dan perhatian. Kakaknya yang hanya terpaut usia 10 menit itu mampu mengayominya layaknya kakak dewasa mengurus adik kecilnya.

"Azkia.." panggil Fahmi, Azkia pun menegakkan tubuhnya.
"Jangan selalu merasa kamulah korbannya di sini. Karena gak cuma kamu yang terluka dek. Kakak, bunda, ayah, bahkan mereka pun terluka. Gak cuma kamu yang menanggungnya sendiri, Kia. Namun jika sikapmu seperti ini, kami lebih terluka lagi." Fahmi menatap lembut Azkia yang kini tengah mengigit bibir bawahnya.

Fahmi pun bangkit, "ya sudah, kakak ke mushola dulu ya. Kalo ada apa-apa ke sana saja. Nanti pulang bareng kakak aja."

Azkia kembali menyembunyikan wajahnya, kali ini bukan untuk berdiam diri, namun untuk menangis.

Tangis yang mungkin mampu membasuh luka di hatinya, meski tak mampu menyembuhkan, namun setidaknya meredakan sejenak.

•••••

Satu jam lebih Azkia berdiam diri di kantin, menghabiskan makan dan minum yang dia pesan. Belum lagi cemilan-cemilan yang kebanyakan hanya berisi angin.

Ia pun beranjak ke toilet untuk membasuh mukanya, lalu pergi untuk menemui Fahmi di mushola.

Ya seharusnya begitu. Namun kakinya justru  membawanya ke tangga, terus menaiki setiap anak tangga hingga akhirnya ia sampai di atap sekolah yang di sekelilingnya terdapat tembok rendah yang lebih mirip seperti bangku sebagai pembatas.

Azkia pun dengan nekatnya duduk di pembatas itu, berpegangan dengan kuat di pembatas. Ia mengayunkan kedua kakinya yang bebas di udara.

Dari sana ia bisa melihat seluruh sekolahnya, ia menghela napasnya. Sudah hampir dua tahun ia berada di sekolah ini, berbaur dengan banyaknya siswa siswi dan juga guru. Namun tetap saja ia merasa kosong dan sendirian.

Ia pun memejamkan matanya, menikmati semilir angin yang mengelus wajah dinginnya. Bukan karena terasa dingin, namun ekspresinya yang dingin.

Terasa hangat di wajahnya ketika cahaya mentari pun ikut mengintip dari balik awan. Azkia merentangkan tangannya, berusaha memeluk cahaya hangat itu agar mampu melelehkan dingin di hatinya.

AZKIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang