Waktu

2.4K 71 1
                                    

Aku menginginkan hujan di saat kamu memilih berteduh.

_13 Detik_

Berkali-kali Rico memejamkan mata lalu terbuka lagi, bagaimana bisa ia terlelap sebentar, sedangkan Gadis masih tertidur karena bius obat, rumah sakit Hasan Sadikin di lantai dua, Gadis di rawat. Lukanya tidak serius, hanya terkena syok dari phobia.

"Tante Rico gak becus jaga Gadis, Rico malah ninggalin Gadis sendirian pas pulang sekolah." Rico menangis di tempat, pikirannya kacau melihat Gadis tergeletak dengan infus di tanganya.

Winda hanya mengusap kepala Rico dengan pelan, ke empat sahabatnya sudah pulang satu jam yang lalu, hanya menitip pesan dan memberikan buah-buahan saat Gadis masih belum sadarkan diri.

"Gak papa Ric, kamu itu temen terbaik Gadis, kamu gak harus nyalahin diri sendiri," ucap Winda mengelus pundak Rico dengan hangat.

"Dis gue gak akan maafin orang yang bikin lo kaya gini!"

Rico menggenggam tangan Gadis gemetar, air matanya jatuh di tangan Gadis, memohon agar segera bangun dari mimpinya, ia ingin menatap Gadis sekarang dengan matanya yang terbuka.

"Ayo makan dulu, belum makan kan?" tanya Winda.

"Gak usah Tan, gak selera."

"Kalau kamu gak makan dan nanti kamu pingsan, Gadis bakal marah sama kamu Ric, ayo makan," titah tante Winda menatap Rico dengan hangat.

Rico mengangguk, mengiyakan permintaan Winda, bisa dibilang mamah Gadis cantik, mungil dan matanya yang teduh sama yang pernah di ceritakan ayah dulu, tapi tidak mungkin orang yang di tuju papah adalah mamahnya Gadiskan? Secara nama Sari dan Winda itu berbeda?

"Tante, Rico mau pulang dulu ya," ucap Rico setelah menghabiskan semangkuk nasi dan sup.

Rico ingin membersihkan diri sekaligus ingin mengambil beberapa baju dari lemari untuk menginap di sini, percuma pulang ke rumah. Di sana tidak ada siapa-siapa. Lebih baik Rico memilih menginap tidur di rumah sakit ini sambil menjaga Gadis.

Di tengah jalan, ia tidak bisa berpikir jernih dan langsung ke rumah Vivo temannya yang memberi tahu Raka mau ke rumah Agung dan ternyata itu bohong!

"Jawab gue Vo, siapa yang nyuruh lo bohong?" Rico menarik kerah Vivo saat ia menemukan Vivo di rental warnet di dekat rumahnya.

"Maafin gue Ric, sumpah gue gak niat."

"Gue nggak mau denger alesan lo, yang gue tanya siapa yang nyuruh lo bohong!"

Vivo tercekat pasi, seandainya dia tidak akan tergiur dengan tawaran uang dari Risti, dia tidak akan melakukan kebohongan itu.

"Jawab Vo!!"

Blakkk

Satu pukulan mendarat di wajahnya, hukuman yang setimpal buat Vivo untuk Gadis yang sekarang di rawat di rumah sakit.

"Ampun Ric, ampun... yang nyuruh gue bohong itu Risti, gue lagi butuh duit soalnya."

Rico melepaskan cengkramannya, mendorong Vivo ke lantai.

"Kalau lo berani lagi nyakitin Gadis, bukan pipi lo aja yang kena, gue bisa bikin lo cidera!" tegas Rico meninggalkan Vivo yang masih terhuyung di bawah.

***

"Januar, lo di mana?" tanya Rico dengan suara parau di balik gemgaman telepon.

"Lo nanya ke gue di mana? Gue udah di rumahlah."

"Jemput gue sekarang di rumah!!"

"Kenapa Ka? Lo habis dipukulin sama bokap lo? Atau lo di ancem sama keluarga Risti, bilang sama gue, baru gue jemput!" cerca Januar, hanya helaan nafas yang terdengar sebagai jawaban.

"Gak usah nanya dulu bacot, jemput gue sekarang!!"

"Oke boss."

Tak perlu lima menit untuk datang menemui Raka, Januar itu pembalap professional, dia selalu megikuti perlombaan itu tanpa di ketahui teman-temannya kecuali Raka, karena kalau sampai tahu bisa-bisa ia di keluarkan dari sekolah.

"Anwar, bawa gue ke rumah sakit Hasan Sadikin."

"Ngasal lo manggil gue, nama gue itu Januar bukan Anwar." Protes Januar tanpa membuka helem miliknya.

Januar melemparkan helem sembarang untuk Raka yang langsung ia pake, di sepanjang jalan, hatinya mencoba berdamai namun semakin remuk, Raka sudah tidak bisa berperang lagi dengan semua keadaannya, ia sudah tidak bisa menahan rasa sedihnya.

"Gak sekarang aja, masuknya?" tanya Januar, saat Raka hanya berdiri di depan parkiran rumah sakit.

Raka menguatkan diri untuk masuk kedalam rumah sakit, entah bagaimana keadaan Gadis sekarang, apa boneka yang dititipkan Rico udah sampai pada Gadis?

"Dia baik-baik ajakan?"gumam Raka merasa iba melihat Gadis terbaring lemah, saat dia berdiri di depan pintu memperlihat Gadis yang masih belum siuman.

"Eh temennya Gadis?" tanya seorang wanita berparas cantik.

"Ayo masuk," ucapnya lagi.

"Ini dek Raka ya, ini mamahnya Gadis, aduh ganteng banget ya mantanya Gadis," ucap Winda terkesima melihat ketampanan Raka.

"Saya Januar tante, temennya Raka," ucap Januar tanpa ada yang mempersilahkan perkenalan diri.

"Oh iya-iya, masuk ya, sekaligus jagain soalnya tante mau beli makanan ke bawah dulu."

"Baik tante."

Raka masuk ke ruang Gadis, aroma harum rumah sakit sekaligus hawa dingin di AC, membuat Raka duduk di dekat di sampingnya sambil meletakkan tangannya yang sudah lama tak pernah ia raih untuk di genggam.

"Rak..." Suara Gadis parau saat ia menggemgam tangannya setelah lima belas menit.

"Lo ada di sini ternyata," wajah Gadis pucat, juga rambutnya seperti di potong habis-habisan, hanya tersisa setengah sampai telinga.

Raka mendekat yang langsung di respon oleh Gadis dengan peluknya perlahan.

"Gue takut Rak... Gue takut," ucap Gadis terpatah-patah, ada rasa sesak di dada Raka, ini salahnya Raka, masih mengulur-mengulur perasaannya untuk Gdis, harusnya setelah Raka meminta putus, dia juga harus siap untuk tidak pernah datang lagi di hidup Gadis, walaupun hanya sekedar pas-pasan.

"Gue udah minta maaf sama Rista, gue udah sujud-sujud, dia malah ngabisin rambut panjang gue, gue takut gelap Rak, dan gue di kunci di ruang penjas, lo kan yang nemuin gue di sana?" suara Gadis tercekat membayangkan apa yang sudah terjadi.

Raka mengangguk berdusta, bukan ia yang menolong Gadis, bukan dia yang membopongnya ke rumah sakit, Rico yang menyelamatkannya, sekali lagi Raka ingin menjadi orang egois, dalam hidupnya ia tidak bisa memilih menyelamatkan antara orang yang di sukainya atau menyelamatkan ayahnya.

Gadis memeluknya tambah erat, seolah pelukan itu tidak mau ia lepas lagi, bersama tangis yang menyertainya, Rico datang di waktu yang tidak tepat, langkahnya mundur kebelakang dengan tas yang sudah jatuh ke lantai.

"Ric..." Lirih Gadis parau.

Membuat wajahnya tersenyum palsu, hatinya sudah terlalu lama remuk Dis! Kenapa lo enggak peka!

Membuat wajahnya tersenyum palsu, hatinya sudah terlalu lama remuk Dis! Kenapa lo enggak peka!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tiga Belas DetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang