9. Regret

2.6K 234 12
                                    

o0o

"Sasu .., ke ...." Aku mematung di tengah koridor sekolah saat Sasuke tidak membalas sapaanku. Jangankan membalas, melirik ku saja tidak. Bahkan menganggapku seolah tak ada, ia berlalu sambil tertawa bersama teman-temannya.

"Lo nggak pa-pa, 'kan, Ra?" tanya Ino, terdengar khawatir. Ia tahu benar apa yang terjadi padaku dan Sasuke.

Aku menggeleng pelan. Menyadari air mata akan tumpah saat itu juga, aku segera berlari menuju toilet wanita. "Gue duluan!" ucapku pada Ino, setengah berteriak.

Mengabaikan teriakan Ino yang memanggil namaku, aku terus berlari kencang. Air mata tak bisa kutahan lagi, mengalir cukup deras. Kalian mengataiku lebay? Itu karena kalian tidak tahu apa yang aku rasakan. Pikirkan bagaimana rasanya jika seseorang yang bersama denganmu sejak kecil, yang tak pernah sekalipun bertengkar besar denganmu, tiba-tiba mengabaikanmu, tak menganggapmu ada? Atau, anggap saja Kakakmu membencimu? Apa kau merasa sedih? Tentu saja bukan. Jadi, wajar jika aku menangis seperti ini.

"Saku, lo nangis?"

Aku tersentak menyadari Hinata tiba-tiba berdiri di sebelahku. Segera kuhapus air mataku dan kucuci wajahku agar tak kelihatan jelas bekas air matanya. "Ah, enggak, kok," jawabku seraya tersenyum meyakinkan.

"Bohong lo! Cerita gih ma gue, siapa tau gue bisa bantu lo, mumpung guru pada rapat nih."

Aku menggeleng, cepat. "Nggak, Nat. Gue nggak pa-pa kok. Serius deh! Lagian gue nggak enak mau curhat sama lo," ungkapku. Ya, aku memang hanya beberapa kali berbincang dengan Hinata, itupun tentang pelajaran. Nggak enak rasanya kalau curhat masalah seperti ini ke Hinata.

Ia tertawa kecil, oh God, aku suka sekali dengan wajah manisnya. "Yaelah, lo mah. Nggak perlu sungkan buat curhat sama gue. Lagian lo 'kan sahabatnya Naruto, sahabat Naruto udah gue anggep sahabat gue sendiri. Santai aja kali, gue pendengar yang baik, kok."

"Karena lo maksa, yodah deh gue bakal cerita," candaku.

"Nah, gitu napa. Yok, cari tempat lain, nggak enak banget masa curhat di toilet. Ntar ada yang ganggu lagi, hi hi~ kok, tib-tiba merinding, ya?"

Kami berdua berteriak kecil seraya berlari keluar toilet. Tawa menggema ketika kami telah menduduki salah satu bangku di kantin.

"Lo ada masalah dengan Sasuke, ya?"

Aku mengernyit heran. Kok, dia tau sih?

"Pasti karena Sasuke ninju Gaara kemaren,"

Aku mengangguk, pelan.

"Dan lo nggak percaya dengan alasan Sasuke ngelakuin itu ke Gaara yang ngebuat Sasuke jadi kecewa karena lo lebih percaya dengan Gaara dibanding dia."

"Kok, lo tau sih? Lo ... Peramal? Atau ...."

Sebelum aku melanjutkan kata-kataku, Hinata tertawa lebar. "Ada-ada aja sih lo ini. Ini 2017, sist. Gak jaman lagi yang namanya peramal atau dukun."

Cengiran lebar tercipta di wajahku dan kugaruk leherku, salah tingkah. "Ya, terus lo tau dari mana?"

"Gampang ditebaknya, karena gue tau bener inti permasalahan lo. Lagipula ini sering terjadi dalam suatu hubungan. Saling percaya adalah kunci paling penting dalam menjalin sebuah hubungan; baik percintaan atau persahabatan dengan seseorang. Gue juga sering nggak percaya sama Naruto, tapi gue nggak nuduh dia yang nggak-nggak dulu, gue cari buktinya, baru gue bisa ngelakuin suatu tindakan."

Wajahku berubah, murung.
"Saat itu gue nggak bermaksud untuk nuduh dia. Tapi, mungkin karena gue kesel banget dengan tindakan dia ke Gaara, pesan yang gue kirim ke dia, terdengar kasar banget. Gue nggak tau dia bakal semarah itu." Aku menunduk, mengingat hal itu. Menyadari ada yang ganjil, aku menatap Hinata intens, "Btw, maksudlo yang tau dengan inti permasalahan gue itu apa?"

"Kemaren lusa, gue, Naruto dan Sasuke mau nonton turnamen futsal di GOR Konoha. Mereka jemput gue di taman cinta. Di sana, Sasuke ngeliat Gaara ciuman dengan cewek lain, bukan cuman Sasuke, gue dan Naruto juga ngeliatnya secara langsung. Saat itu Sasuke dan Naruto bener-bener marah, bisa aja mereka ngehajar Gaara saat itu juga, tapi mereka takut ditangkep polisi. Gue nggak bohong, Ra. Lo bisa tanya juga dengan Naruto."

"L-lo s-serius?!" tanyaku terbata-terbata.

Hinata mengangguk, yakin. "Sasuke sayang sama lo. Dia nggak mau lo sakit hati nantinya, dia pengen nunjukin kalo Gaara itu brengsek. Tapi, dengan bodohnya elo nggak percaya dan marah dengan dia."

"N-Nata ... T-terus gue harus gimana sekarang?"

Dia bangkit dari duduknya dan tersenyum padaku. "Tugas gue untuk memberitahu elo tentang kebenaran udah selesai. Selanjutnya, elo harus mencari solusi sendiri untuk diri lo dan hubungan lo dengan Sasuke." Ia berjalan menjauhiku. "Dan, lo harusnya sadar kalo Sasuke nganggep lo lebih dari pada sahabat!"

A-apa?

**

"Untuk saat ini, gue nyerah.
Sekarang kita lihat ke depannya, yang kalah gue atau elo. Gue harap lo nggak nyesel dengan kompetisi yang lo buat sendiri ini." -Sasuke.

"Lo menang dan gue nyesel. Gue harap kompetisi ini telah berakhir." -Sakura.

-Lanjut?

Fast, kan, fast eaaa! 🎉
Hebat 'kan? Iya dung. Seneng bener dah perasaan, lo Rin. He he :v

FriendzoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang