Chapter 1

8.6K 729 88
                                    

Seorang anak laki-laki meringkuk di sudut ruangan. Memeluk kedua kakinya dan menyembunyikan wajahnya. Menggeleng pada siapapun yang mengajaknya masuk ke dalam kamar.

Meski wajahnya tersembunyi, mereka semua tahu anak berusia tujuh tahun itu tengah menangis. Menangis dalam diam dan tidak mengizinkan orang lain untuk mendekat.

"Mingyu, ayo masuk Nak!" Dalam diamnya ia menggeleng. Semakin menyudutkan tubuhnya saat seseorang menggapai lengannya. Mengabaikan wanita tua yang sedari tadi membujuknya.

"Kita harus bagaimana, eonni?" tanya wanita lain yang berusia lebih muda.

"Mungkin Mingyu masih sangat terpukul dengan kematian kedua orang tuanya. Kita akan membujuknya secara perlahan. Tapi kita tidak boleh memaksanya. Untuk saat ini, kita awasi saja dari kejauhan."

Wanita muda dan dua wanita lainnya mengangguk. Berjalan menjauh sembari menggiring anak-anak yang sedari tadi mengintip. Meninggalkan Mingyu yang masih meringkuk di sudut ruangan. Menggumamkan ayah dan ibunya dengan air mata terus menetes.

"Kau tidak lelah menangis?" Tiba-tiba suara anak kecil menyapa gendang telinganya. Namun belum mampu membuatnya mengangkat kepala.

"Aku tidak pernah menangis. Karena semua yang ada di sini tidak punya appa dan eomma. Kata Shin eomma, kalau kita menangis, appa dan eomma yang berada di surga akan bersedih."

Celotehan anak itu membuat tangis Mingyu terhenti. Mengangkat kepalanya perlahan-lahan. Menatap seorang anak laki-laki yang menatapnya polos. Senyum tersemat di bibir mungilnya.

"Tadi jariku terkena pisau. Rasanya sangat sakit sampai aku mau menangis. Tapi aku tidak menangis karena aku tidak mau membuat mereka bersedih." Ia mengacungkan jarinya yang dibalut plester. Memanyunkan bibirnya teringat rasa sakit saat jarinya terluka.

Mingyu benar-benar menghentikan tangisnya. Berganti memperhatikan wajah anak di depannya. Berambut hitam legam dan berkulit putih. Setiap berbicara, ekspresi anak di depannya berubah-ubah. Seperti saat ini, ia sudah tersenyum cerah ke arahnya.

Ia kembali teringat pada kedua orang tuanya. Ia tidak pernah menemukan anak kecil yang belum pernah menangis. Apalagi saat terluka, ia akan menangis dan mendapatkan pertolongan sang ibu. Cerita anak di depannya membuatnya kembali bersedih. Hanya saja, sedih dalam arti yang berbeda.

"Kau bisa memanggilku Wonwoo. Mulai saat ini, kau tidak boleh menangis lagi. Kata Shin eomma, kalau kita merasa sedih, kita bisa membaginya dengan orang lain. Dan kau bisa membaginya denganku. Mulai hari ini kita akan menghabiskan waktu bersama-sama."

Mingyu bungkam. Bukan karena ia tidak mengerti apa yang bocah itu maksudkan. Meski masih berusia tujuh tahun, ia termasuk bocah yang cerdas. Ia diam karena tertegun dengan kalimat Wonwoo.

Bocah berkulit pucat itu seperti penolong yang Tuhan kirimkan. Ia pikir, ia akan menghabiskan waktunya seorang diri. Tapi dengan begitu tulusnya, Wonwoo datang dan menawarkan diri di tengah kesedihannya.

"Sekarang sudah malam. Ayo aku antar ke kamarmu."

Anak berkulit putih itu berdiri dari duduknya. Mengulurkan tangan mungilnya tepat ke arah Mingyu. Tersenyum tulus dan berharap Mingyu menyambut uluran tangannya.

Beberapa wanita yang memperhatikan kedua interaksi bocah itu tampak cemas. Takut Mingyu menolak dan memilih menyendiri. Namun tidak seperti beberapa saat yang lalu, Mingyu justru menerima uluran tangan Wonwoo. Berjalan menjauh ke arah kamar mereka.

"Eonni, Wonwoo berhasil mengambil hatinya. Tidak membutuhkan waktu lama, Mingyu langsung menurut pada Wonwoo. Tidak seperti kita yang sudah lebih dari setengah hari."

CandleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang