Mingyu berjalan menelusuri jalan di depannya. Mendorong kursi roda yang diduduki pria berbaju pasien. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Hanya terdiam dan menikmati angin yang menyentuh lembut.
Remaja tujuh belas tahun itu tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Meski Wonwoo tidak sedang melempar candaan, ia terlihat begitu bahagia. Kebahagiaan yang sudah bertahun-tahun ia dambakan.
Detik ini, rasanya Tuhan mengambil seluruh sakit di kehidupannya. Ia hampir lupa bagaimana rasanya siksaan itu. Karena yang ada hanya kebahagiaan yang membuncah. Membuatnya sulit menampungnya dengan menghentikan senyumnya.
"Mingyu."
"Hem." Mingyu berdehem lembut.
"Kau tidak lelah? Kita sudah mengitari taman lebih dari satu jam."
Mingyu menghentikan pergerakannya. Berjalan tepat di depan Wonwoo. Menundukkan tubuhnya agar tinggi mereka sejajar.
"Apa kau lelah? Ingin masuk ke kamar dan beristirahat?" Mingyu menatap mata di depannya. Berucap selembut mungkin seolah suaranya bisa membuat Wonwoo tergores.
"Aku bertanya padamu dan kau bertanya balik padaku?" tanya Wonwoo tidak suka. Membuat Mingyu menunduk dan tersenyum simpul.
Hari ini, senyum seolah enggan menjauh dari wajah tampannya. Setelah kemarin waktunya dihabiskan dengan menangis, kali ini tidak ada kristal bening di kedua matanya. Tangisan kemarin ia tebus dengan senyum tulusnya.
"Aku terlalu egois sampai melupakan keadaanmu. Seharusnya aku memang tidak membawamu selama ini. Aku hanya terlalu senang bisa bersamamu seperti ini. Aku tidak ingin waktu yang terlewat tanpa bersamamu." ujar Mingyu yang membuat Wonwoo langsung menggeleng.
"Aku hanya takut kau lelah. Kalau aku sama sekali tidak lelah. Lagi pula, aku tidak akan ke mana-mana. Kau bisa menemukanku dengan mudah. Dan aku sudah ada di sini, tidak ada lagi alasanku untuk pergi."
"Kalau begitu, biarkan seperti ini untuk beberapa menit lagi."
Wonwoo tidak lagi menjawab. Penolakan juga tidak terucap di bibirnya. Hanya mendiamkan untuk menuruti keinginan Mingyu.
Tanpa keduanya tahu, Soonyoung memperhatikan mereka dari jauh. Pandangan matanya tidak lepas dari keduanya. Bahkan ia bisa melihat dengan jelas senyum di wajah Mingyu dan Wonwoo. Membuat bibirnya tersenyum namun pancaran matanya meredup.
Kehidupan yang ia jalani memaksanya untuk tetap kuat. Meski masalah silih berganti tanpa ujung, yang bisa ia lakukan hanya menghadapinya. Ia merasa cukup berdiri dari kejauhan. Tanpa segala sesuatu tentang Wonwoo. Setidaknya, ia masih bisa melihat senyum itu meski dari tempat berdiri saat ini.
0o0o0o0o0o0o0o0o0o0
Di dalam ruangan bernomor 717, Mingyu menghentikan dorongannya pada kursi roda. Beralih ke depan Wonwoo untuk membantu pemuda yang lebih tua berdiri. Karena Wonwoo enggan digendong, membuatnya hanya membantu memapah hingga ranjang.
Mingyu mencoba memastikan Wonwoo senyaman mungkin. Dengan sangat hati-hati, ia meluruskan kaki Wonwoo di atas kasur.
"Sekarang habiskan makananmu." Wonwoo mendengus. Padahal ia sudah berharap Mingyu melupakan makan siangnya.
"Aku kenyang, Mingyu."
"Aku tidak percaya." Untuk ke dua kalinya Wonwoo mendengus. Ia kesal dengan sikap Mingyu yang keras kepala.
"Buka mulutmu!" perintahnya tanpa memedulikan wajah masam Wonwoo.
"Kau berniat membuat perutku sakit karena kekenyangan?" Wonwoo mengomel. Membuat Mingyu mendesah melihatnya. Ia tidak tahu sikap yang satu ini sejak kapan ada pada diri Wonwoo. Seingatnya, Wonwoo tidak pernah serewel ini mengenai makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Candle
FanfictionCOMPLETE - Wonwoo adalah cahaya di kehidupannya yang ia butuhkan. Tapi ia tidak tahu siapa yang menjadi lilin dalam hidup Wonwoo. Karena ia tahu tidak hanya dirinya yang pernah ada di dalam hidup pemuda berkulit putih itu.