Chapter 7

3.2K 544 127
                                    

Soonyoung meninggalkan tempat kejadian setelah menjelang pagi. Ia tetap berada di sana tanpa melakukan apapun. Hatinya seolah memintanya untuk tetap tinggal. Tapi tubuh dan pikirannya tidak sejalan. Ia ingin mendekat, hanya saja tubuhnya menolak untuk bergerak.

Wajahnya yang babak belur mengundang perhatian banyak orang. Namun ia mengabaikannya. Tetap berjalan sempoyongan menuju rumahnya. Jalanan itu harus ia telusuri dengan ke dua kakinya. Ia tidak membawa mobil atau sekedar uang untuk biaya kendaraan.

Sesampainya di halaman rumah, seorang satpam menghampirinya. Seolah tidak memerlukan bantuan, ia tepis tangan itu. Menolak siapapun untuk membantunya berjalan. Bahkan kekhawatiran dari pekerja lainnya, ia abaikan begitu saja.

Sebelum memasuki kamarnya, ia melihat sang ayah. Memasuki kamar yang ia yakini tidak jauh berbeda dengan rumah mewah itu. Terasa dingin dan hampa.

Ibunya tidak lagi sehangat dulu. Ia tidak pernah melihat interaksi ayah dan ibunya seperti dulu. Mereka seolah sibuk dengan kehidupan masing-masing. Sang ayah sibuk dengan urusan bisnisnya. Sedangkan sang ibu, bagai patung yang memiliki nyawa.

Sejak Wonwoo meninggalkan mereka, dirinya menjadi anak yang tidak ingin hidup, ibunya terus menangis. Mengurung diri dan meratapi kesalahannya. Hanya sesekali duduk di halaman memandangi bunga-bunga di pekarangan.

Hidupnya terasa benar-benar hancur. Ia merasa bagai mati suri. Hati dan jiwanya seolah tak bernyawa. Tidak ada hasrat untuk menjalani kehidupan. Kosong melompong berisikan duka. Hanya jantung Wonwoo yang membuatnya bertahan dan tidak mengakhiri hidupnya.

Tidak ingin memusingkan hidupnya yang sudah hancur, ia memilih memasuki kamarnya. Membaringkan tubuhnya yang terasa sakit hingga ke tulang.

Sedangkan di kamar lainnya, Tuan Kwon berdiri di sisi ranjang. Memerhatikan sang istri yang duduk menghadap jendela. Wajah cantik itu tampak pucat. Tidak ada polesan make up seperti dulu. Karena seberapa banyak pun wajah itu dirias, akan luntur dengan derasnya air mata. Seberapa cantikpun wajah itu dipoles, pancaran matanya tidak akan mendustai duka yang dirasa.

"Ahra-ya, sampai kapan kau akan terus seperti ini?" Terdengar nada putus asa dari pertanyaan itu. Namun Tuan Kwon tidak mendapat jawaban apapun.

"Aku tahu hancurnya keluarga kita karena kesalahanku. Aku tahu semua masalah ini timbul karena salahku. Aku juga tahu dalam diammu kau menyalahkan semuanya padaku. Tapi setidaknya apa kau tidak bisa meluapkan padaku, Ahra-ya?" tanyanya frustasi. Sedangkan sang istri masih memandangi luar jendela dengan tatapan kosongnya.

"Kau bisa memakiku sepuasmu. Kau bisa menamparku, memukulku atau bahkan membunuhku kalau memang bisa membuatmu kembali. Tapi aku mohon jangan diam saja seperti ini." Dan kalimatnya masih tidak mendapat respon. Istri cantiknya lebih memilih diam memandangi keluar. Kalimat dan keberadaannya seolah tidak dianggap.

"Apa kau tidak tahu alasanku waktu itu menolak mencari keberadaan Wonwoo?" Pertanyaan itu membuat tubuh Ahra sedikit tersentak.

"Bukannya aku sudah katakan kita tidak perlu mencarinya karena kita akan mencari donor lainnya?" Tatapan Tuan Kwon tertuju pada sang istri. Meski tidak menjawab, ia tahu istrinya menyimak kalimatnya.

"Apa kau tidak mengerti maksud dari perkataanku waktu itu?" Diam sejenak. Tuan Kwon menarik nafas sebelum melanjutkan ucapannya.

"Itu karena aku juga tidak ingin mengorbankan nyawa Wonwoo untuk anakku. Aku tahu aku bukan manusia yang baik. Tapi aku juga masih manusia yang memiliki hati, Ahra-ya. Aku sudah menganggap Wonwoo sebagai anakku. Aku juga merasakan sakit harus menghadapi kenyataan kalau Wonwoo akan meninggal karenaku." Emosi dan kesedihan bercampur menjadi satu di kalimat itu.

CandleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang