Chapter 4

3.1K 536 86
                                    

"Soonyoung."

Dalam keadaan kaki dan tangan terikat, ia mengingat Soonyoung. Bocah itu tidak mengeluh apalagi menangis meski tangan dan kakinya mulai terasa sakit. Duduk di lantai kotor nan dingin dan bersandar di dinding. Tubuh yang terikat membuatnya kesulitan bergerak. Hanya kepala yang masih bisa ia gerakkan.

Mata rubahnya mengitari sekitar. Tidak banyak yang tertangkap sepasang netra beningnya. Ruangan itu tampak begitu gelap. Hanya sedikit cahaya yang mencuri masuk dari ventilasi dan jendela yang berlubang di beberapa bagian.

Bau kayu lapuk dan lumut terasa di indera penciumannya. Meski minim pencahayaan, ia tahu tengah berada di ruangan yang begitu kotor. Lembab dan pengap ruangan itu membuatnya pusing. Namun tidak ada keluhan dari bibir tipisnya. Justru mengkhawatirkan Soonyoung yang ia tinggalkan di taman.

"Pasti Soonyoung mencariku? Dia pasti menangis karena aku tidak ada."

Wajahnya semakin sendu ketika mengingat keadaan Soonyoung. Meski keadaannya lebih mengenaskan, tapi ia tidak bisa tidak mengkhawatirkan Soonyoung. Bayangan Soonyoung kesakitan dan mencarinya membuatnya ingin menangis.

Bunyi saklar lampu yang diiringi sebuah cahaya membuat matanya menyipit. Retinanya masih menyesuaikan dengan keadaan baru.

"Mereka datang."

Kepalanya menoleh. Menatap seorang laki-laki tambun dengan rambut botak di bagian depan. Tampak menyeringai menatap pintu di ujung sana.

Wonwoo tidak mengalihkan atensinya. Terus menatapi orang yang tidak dikenalnya tanpa rasa takut. Ia justru memperhatikan penampilan orang itu dengan pandangan polosnya.

"Apa yang kau perhatikan bocah? Sesaat lagi uangku akan mendatangiku."

Laki-laki itu tertawa di akhir kalimatnya. Wonwoo mengalihkan pandangannya saat mendengar langkah kaki. Tanpa bertanya, ia tahu ada yang berjalan mendekati mereka.

"Eomma."

Ia bersuara untuk pertama kalinya diiringi mata yang membulat sempurna. Diujung sana, ia bisa melihat dua orang berjalan dengan perlahan. Laki-laki dan wanita yang amat sangat ia kenali. Salah satu dari mereka membawa benda berwarna hitam yang ia tahu adalah koper.

"Kalian memamg pintar untuk tidak mengambil resiko."

Ia bisa melihat ibunya begitu ketakutan. Mencengkram kuat lengan ayah angkatnya yang berjalan begitu perlahan. Matanya menatap sekitar dengan was-was.

"Wonwoo."

Wanita cantik itu berniat berlari. Namun terhenti saat sang penculik menodongkan pistolnya. Tepat ke arah kepala bocah berusia sebelas tahun itu.

"J-Jangan sakiti Wonwoo! Aku mohon."

Ibu angkatnya memohon dengan suara bergetar. Kembali berdiri di belakang suaminya yang sedari tadi bergerak begitu hati-hati.

"Aku tidak akan menyakitinya kalau kalian menyerahkan uang itu sekarang juga. Kalau kalian mencoba macam-macam. Seluruh peluru ini akan bersarang di kepalanya." Wonwoo tersentak mendengar ancaman itu. Ia memandang pistol yang mengarah ke kepalanya dan sang ibu bergantian.

"Serahkan anak itu baru kami akan menyerahkan uang ini." Tuan Kwon yang sedari tadi bungkam, angkat bicara. Mencoba bersikap tenang meski sorot matanya menyiratkan kegelisahan.

"Kau ingin menipuku?" sang penculik tersenyum meremehkan. Semakin mendekatkan pistol di tangannya ke kepala Wonwoo. Membuat wanita itu menggeleng dan menitikkan air matanya.

"Aku tidak bisa menyerahkan uang ini begitu saja. Bisa saja kau menipu kami setelah uang ini berada di tanganmu."

Wanita di sampingnya menatap sang suami tidak percaya. Baginya, keadaan saat ini sangat genting. Tapi suaminya justru ingin bernegosiasi yang membuat tatapan laki-laki di depan mereka berubah. Tampak semakin tajam dengan gigi bergemelatuk.

CandleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang