Bagian 2

11.6K 834 94
                                    

Loretta tidak berani mengangkat wajah ketika memasuki ruangan kerja tuannya, sang Marquis. Jefferson berlalu pergi dan Loretta bisa melihat celah di antara pintu yang sengaja ditinggalkan Jefferson untuk tujuan sopan santun. Ia pun berspekulasi bahwa tuannya ini mungkin belum menikah.

"Jadi... ehm..." Terdengar suara berat yang enak didengar. "Miss Loretta Chaster?"

"Ya, My Lord..." Loretta mengiyakan dengan segenap sopan santun yang dimilikinya. Suara helaan nafas, halaman-halaman kertas yang dibolak-balik, dan kemudian helaan nafas lagi. Lalu, suara dengusan, seperti suara menahan tawa. Loretta merutuki kemampuannya menganalisa, mana mungkin tuannya menertawakannya, iya kan?

"Miss Chaster," ulang suara itu. "Apakah kau tipikal wanita yang kolot dan masih terikat pada peraturan dasar, sementara situasi di mana aku sendiri menerimamu sebagai sekretaris merupakan sesuatu yang tidak biasa dan sebenarnya... agak tidak pantas?"

"Kolot, My Lord?" Loretta mengangkat wajah hendak memprotes dan bertemu dengan sepasang mata biru yang indah, wajah yang tampan walaupun ada segurat luka di dekat area matanya, dan senyuman simpatik. Ia tidak bisa menghentikan otaknya untuk berpikir, Oh Tuhan, ternyata tuannya masih sangat muda dan tampan.

"Kau memang terlalu muda dan cantik untuk menjadi sekretaris, bukan?" sang Marquis kembali menatap buku laporan yang berisi tulisan tangan Loretta. "Apakah kau tidak pernah bertanya kenapa aku menerimamu? Kau wanita, seharusnya atas aturan kepantasan dan sopan santun, sangat tidak dibenarkan bagiku untuk memperkerjakan wanita..."

Loretta mengangguk, "Benar, My Lord. Tetapi, kalau saya boleh menambahkan, saya merasa beruntung Anda menerima saya sebagai sekretaris."

Seulas senyum muncul di wajah pria itu. "Karena aku mencari seseorang yang cukup putus asa. Putus asa sehingga tidak akan menuntut terlalu banyak. Putus asa sehingga tidak akan berusaha mencari tahu siapa tuannya."

Pipi Loretta memerah. Ia memang seputus asa itu.

"Tetapi di samping itu semua," tambah pria itu. "Hasil kerjamu memuaskan. Aku tahu wanita tidak seharusnya dipandang rendah. Adikku juga seperti itu, kau tahu. Ia lebih hebat untuk urusan pengaturan perkebunan daripada diriku. Tetapi kalau suatu hari kau bertemu dengannya, jangan pernah katakan bahwa aku pernah memujinya."

Loretta tersenyum. Tuannya ini kelihatannya sangat menyayangi adik perempuannya.

"Leo, bukankah kau agak pelit pujian pada adikmu sendir? Lucy sangat menakjubkan, kau tahu?" seseorang menimpali pembicaraan mereka dengan nada jahil yang familiar.

Loretta menoleh ke arah pintu yang bergeser terbuka, dan senyumnya lenyap melihat si pemilik suara. Apakah itu Karena nada kagum yang tidak dapat disangkal dari si pemilik suara kepada siapapun wanita yang bernama Lucy itu? Ataukah karena wajah pria itu sama persis dengan pujaan hatinya yang seharusnya sudah mati? Loretta rasa yang kedua, Karena lututnya goyah, dan ia menemukan dirinya jatuh terduduk di atas karpet.




"Apakah kau baik-baik saja, Miss Chaster?"

"Maafkan saya sudah mengejutkan Anda, My Lord."

Loretta memilin tangannya dan berusaha menenangkan diri. Jadi, pria itu, yang berwajah persis dengan pria yang dicintainya, bernama Mister Ash Hamilton. Mr. Hamilton berdiri di sudut, menatap Loretta dengan kekhawatiran yang sopan dan tersenyum maklum.

"Kau pasti terkejut," ujar Mr. Hamilton pelan. "Aku pun tidak menyangka ada pria yang punya wajah persis sama denganku kalau saja aku tidak mendengar ceritamu. Aku minta maaf sudah muncul dengan tiba-tiba dan menimpali perbincangan kalian."

Chasing the Daydream [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang