Bab 1: Sebenarnya Ada Apa dengan Hujan?

500 116 100
                                    


    Ketika orang-orang beranjak tidur, aku masih terjaga dengan bukuku. Merenungkan pikiran-pikiran kecil yang kadang singgah di benakku. Mata cokelatku menatap liar ke barisan tulisan. Hingga sebuah pikiran hinggap, menyalip di antara kenangan. Ketika aku kehilangan Mama, hujan turun membasahi bumi, mengunci langkahku yang tadi menyusuri trotoar. Demikian juga ketika pemakaman Papa.

Kenapa hujan? Sebenarnya ada relasi apa hujan dengan rentetan tragedi itu? Entah, yang jelas... Aku membenci hujan. Aku yakin, sebuah pertanyaan suatu waktu akan terjawab, entah itu kapan. Tapi pertanyaan, diciptakan untuk sebuah jawaban. Aku mengerjapkan mata, meluapkan pikiran itu dengan meraih kotak musik merah berbahan beludru.

      Balerina mini berputar sementara lagu klasik Turkish March mengalun memenuhi ruangan empat kali empat itu. Aku menutup buku membosankan itu lalu beralih ke sebuah novel. Buku bersampul putih dengan gambar payung di depannya baru beberapa hari yang lalu kubeli. Membaca sedikit bagian dari ceritanya sedikit menghiburku. Aku meraih kertas di pojok meja, menutup novel itu lalu menulis barisan puisi dan sajak.

      Tiga tahun sudah aku terjebak dalam kebiasaan ini. Malam hari ketika bulan bersemi, mengintip seorang gadis yang jenuh dari balik kaca jendela berkusen kayu. Barisan sajak yang menumpuk di sudut meja dibiarkan berantakan.

Lautan kertas putih penuh tulisan tangan berjejer di atas meja kecil, bak prajurit siap untuk dibuang ke pengasingan di pojok ruangan. Tempat sampah. Aku bahkan tidak pernah tertarik untuk mempublikasikan tulisan-tulisan itu. Kurasa itu tidak akan pantas dilihat orang lain.

      Tanganku masih memegang bolpoin ketika aku mendongak menatap langit malam. Kenapa bintang sedikit sekali akhir-akhir ini?

      "Satu, dua, tiga. Hanya tiga?" Aku bergumam sambil menjentikkan jari ke tempat bintang-bintang itu.

      Bintang ketiga. Itu adalah bintang paling terang malam ini. Paling tidak ia bisa menemani anak yatim piatu yang selalu kesepian ini. Tiga. Angka yang sangat kukagumi, tapi juga angka yang mengingatkanku pada hal yang tidak ingin kuingat. Tiga minggu yang lalu, Deandra Gloria pergi. Gadis kecil yang selalu memanggilku "kakak" itu hanya bertahan dua minggu setelah ia divonis kanker otak stadium tiga. Rasa-rasanya gadis itu masih berdiri di sebelah meja belajar, bertopang dagu menungguku membuka pembicaraan.

      Aku hanyut dalam lamunan, sesekali menghapus air mata. Nada dering ponsel membuyarkan lamunanku. Sebuah pesan singkat dari nomor yang sangat kukenal. Nomor yang tidak pernah kusimpan di dalam kontak. Lebih tepatnya, tidak sudi.

      "Besok, datanglah ke cafe Wave, jam empat. Aku ingin bicara denganmu."

      Aku mematikan ponselku, membantingnya ke kasur. Wanita itu lagi. Sekian tahun dia menghilang dan kembali hanya untuk hal itu. Aku mengutuknya dalam hati. Ah, sudahlah. Untuk apa memusingkan hal tidak berguna seperti itu. Dan, aku bersumpah tidak akan datang ke tempat itu.

       Sama sekali tidak berguna bertemu dengannya. Lebih baik waktu itu kuhabiskan untuk sekedar berjalan-jalan, memberi kesempatan pada otakku untuk beristirahat setelah delapan jam lebih berkutat dengan teori-teori pelajaran yang membosankan.

      Aku meraih ponsel dari kasur. Membuka beberapa lagu dan melihat koleksi foto sejak satu tahun yang lalu. Foto yang menjadi wallpaper ponselku. Foto bersama mendiang Papa, satu tahun yang lalu. Begitu banyak figur yang datang dan pergi dalam tahun-tahun terakhir. Mengetuk pintu hidupku hanya untuk kembali pergi dalam waktu yang singkat. Aku menyadarinya, selalu berusaha untuk tidak mengacuhkannya. Menyibukkan diri dengan melahap buku-buku itu. Hingga akhirnya, pikiran bodoh itu hilang untuk sejenak.

      Mataku hampir terpejam. Namum, tiba-tiba nada dering ponselku berbunyi. Layar ponsel menyala. Airen. Di atas nama itu tertera angka kecil, 11:30PM. Terkutuklah gadis ini. Kenapa harus malam-malam seperti ini?

      "Hallo, ada apa?"

      "Rin, dia kirim sms, minta kamu datang besok. Sampai panggilan ketiga kamu masih belum mau ketemu dia, dia bakal bawa kasus ini ke meja pengadilan."

      "Aku gak peduli. Aku gak akan datang."

      "Tapi sampai kapan? Pengacara dari satu minggu yang lewat udah mendesak kita buat ambil tindakan, kasus ini udah satu tahun lebih ditunda. Mungkin pengacara kita bisa memaklumi kondisi kamu satu minggu atau satu bulan setelah Om Rius meninggal, tapi ini udah satu tahun Rin."

      "Beri aku waktu."

      Aku memutuskan panggilan dan menghela napas panjang. Kalimat terakhir itu hanya untuk membuat Airen paling tidak sedikit lega. Mungkin gadis itu berpikir seorang Meirina Gloria akan sudi memikirkan hal munafik seperti itu. Tidak, bahkan tidak untuk menyebut satu kata itu. 

      Aku melihat ke arah jendela, menatap tempat bintang tadi, kini ia hilang entah ke mana, menyisakan cakrawala gelap yang hampa. Daun-daun di pohon bergoyang, sepersekiandetik setelah itu, aku merasakan angin dingin memelukku, membiarkan aku meringkuk kedinginan.

       Aku beranjak, menutup jendela dengan kusen cokelat itu. Sejenak terlihat beberapa rumah di seberang sana mematikan lampu. Mungkinkah orang-orang itu baru beranjak tidur? Kamarku yang berada di lantai dua membuatku bebas menatap pemandangan kota malam hari dari jendela.

      Aku mematikan sinyal ponsel lalu beranjak tidur. Aku memejamkan mata. Sial. Bayang-bayang wanita itu kembali berlalu lalang di pikiranku.
Kenapa tadi aku bisa dengan mudahnya jatuh tertidur, tapi setelah Airen meneleponku, pikiranku menjadi seperti terganjal sesuatu.

     Kemungkinan-kemungkinan jika aku sekali lagi menolak bertemu dengan wanita itu. Ya, ini sudah panggilan kedua. Ingin sekali rasanya aku mengambil alih keadaan, mengambil apa yang wanita itu inginkan dariku, lalu pergi ke kota lain atau bahkan negara lain, memulai semuanya dari awal.

      Jam dinding berdentang. Pukul dua belas malam. Selamat hari Rabu. Hari yang bagus untuk melupakan semuanya. Dan malam itu aku berusaha memejamkan mata dan terlelap dalam tidur. Besok akan ada uji coba materi ujian dan aku tidak akan menghabiskan masa-masa SMA-ku untuk memikirkan urusan itu saja. Aku masih punya kehidupan lain, jauh lebih nyaman. Di dalam hatiku.

Kenapa Hujan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang